Friday 6 May 2016

"SECANGKIR KOPI"

Hari ini sungguh melelahkan. Kata-kata nya semalam benar-benar membangkitkan kembali memori usang. Padahal, semua kenangan yang sempat kusimpan lama sudah kubuang jauh-jauh, pupus sudah harapanku. 

"Saya hanya pengen memperbaiki hubungan kita lagi. Bisa gak kita seperti dulu lagi?"
Masih kuingat kata-kata nya semalam, sepertinya serius... 

Dia tak banyak berubah. Secara fisik masih sama seperti dia yang dulu. Hanya terlihat lebih dewasa,  kebapakan.

Sementara aku, masih begini-begini aja. Jomblo dan galau. Beruntung aja aku punya kesibukan merintis bisnis cafe dan bakery yang udah 2 tahun ini berjalan. 

"Bu Fira, ada kiriman bunga." kata Wulan, pegawaiku, sambil membawakan sebuah buket berisi bunga Lily kesukaanku. 
"Dari siapa?" selama ini gak pernah ada yang kirim bunga. 
"Masnya tadi sih gak bilang dari siapa, Bu. Tapi ini ada suratnya."
"Oh, makasih ya Wul."

Lalu kuterima bunga itu, dan kubuka amplop kecil berwarna ungu pastel.

Good Morning!
Have a beautiful day..
From: Gery 

Hmmm.. Dia lagi... 
Memang kuakui, tak mudah untukku melupakannya. Cara dia mencintaiku sangat berbeda. Dia yang berhasil mencuri penuh hatiku, dan membawanya sepotong ketika meninggalkanku. Aku benar-benar sedang jatuh cinta saat itu. Tapi dia pergi begitu saja... Apa salahku? 

Bertahun-tahun aku menderita. Menunggu seseorang yang tak pasti. Melewatkan banyak kesempatan untuk membuka lembaran baru. Benar-benar bodoh! Lima tahun sia-sia sudah... Kadang aku benci diriku sendiri. 

Kenapa Gery? Kenapa dia yang justru paling sebentar tapi paling susah dilupakan. Bukan, dia bukan yang pertama. Juga bukan yang terakhir. Entahlah, mengenalnya 1 minggu sepertiku mengenalnya bertahun-tahun. Kenangannya terlalu indah. Meskipun dia pernah menyakitiku, susah rasanya untukku membenci dia. 

Keesokan harinya... 
Di Roemah Roti, cafe milikku. 

"Bu Fira, ada tamu di meja 17." Wulan memberitahuku. 
"Eh, Wul nanti kalo timernya bunyi tolong kamu matikan mixer ya. Tutup dough nya pake kain trus diemin dulu 15 menit." kataku. 
"Ok Bu." jawab Wulan singkat. 

Kemudian aku keluar menuju meja 17 yang terletak di mezzanine. Sampai di tangga langkahku kemudian melambat, tampak dari belakang seorang laki-laki dan seorang anak kecil perempuan di sampingnya. 

"Princess Vira.. Welcome to my castle.." sapaku ceria pada gadis kecil berambut keriting itu. Lalu mereka kompak memutar badannya dan dua-dua matanya tertuju kearahku. 
"Shake hand to Aunty.." kata Gery ke anaknya. 
"Hi, Aunty! Is this your house?" suaranya lucu bangetttt.. Anak ini. 
"Yes, sweetie! Actually this is my office and my home is in upstairs." kusambut uluran tangan mungilnya dan kucubit pipinya kecil. Gemes, deh.. 

Kemudian Gery mengulurkan tangannya padaku, "Apakabar, Fir?"
"Hmm.. Baik." sambutku. 

"Oh ya, Ge, makasih ya bunganya. Gak usah repot-repot gitu sih.."
"Oooh, itu. Hmm suka gak? Bener kan ya Lily bunga favorit kamu kan?"
"Kok kamu masih inget sih?"
"Hehe.. Semua yang berkaitan sama kamu, saya gak bakal lupa, Fir.." jawabnya dengan senyum tersipu-sipu. 
"Aaah kamu, gombal!"

"Daddy, can I see her room upstairs" Vira kecil merengek ke ayahnya untuk naik ke atas. 
"You have to ask her, Vira.." jawab Gery. 
"Okay, okay.. Let's go sweetie. Yuk, kita ke atas aja." ajakku kemudian. 
"Gak papa nih?"
"Santai aja, come on!"
Kemudian kugandeng tangan Vira menuju sebuah ruangan di lantai 3.

"Wow! Aunty, Do you play piano?" mata coklatnya berbinar saat melihat piano disudut ruangan dekat jendela. 
"Yes!" jawabku sambil mengangguk-angguk. 
"I also learn piano.." kata Vira sambil berlari menuju piano kemudian dia mulai asik memainkannya. 
"Vira.. You play the piano and I want to talk with Aunty, ok?"
"Okay, Daddy!"

"Lucu banget sih anak kamu Gery.. Gemesin!"
"Liat dong siapa bapaknya?" jawabnya. 
"Aaaaaah mulai deh.." kataku sambil beranjak menuju minibar untuk membuatkan mereka minuman. 
"Bapaknya gemesin juga gak?" godanya lagi. 
"Heh! Jitak nih!"
"Hahaha.. Jangan galak-galak dong neng!"

Sambil menyeduh kopi, kami ngobrol di minibar. 

"Ya, jadi setelah saya lulus master di Melbourne, saya sempat pulang mencari kamu, Fir, 7 bulan. Tapi saya gak berhasil nemuin kamu. Sampai akhirnya saya harus kembali lagi ke Melbourne untuk ngajar." 
"Lalu kamu menikah dengan orang sana?" selaku. 
"Iya, waktu itu saya bertekad, jika saya gak bisa ketemu kamu lagi, saya memutuskan untuk menikah saja."

"Saya gagal temuin kamu, lalu kami menikah dan pindah ke Sydney. Ruby, ibunya Vira dapet kerja disana. Saya yang bolak-balik karena kebetulan jadwal ngajar saya cuma Jumat dan Sabtu." lanjutnya. 

"Saya cerita semua tentang kamu ke Ruby."
"Hah! Serius? Cerita apa aja kamu tentang saya?"

Gery senyum sambil memandangku, akupun tertunduk malu.. 
"Sebelum kami menikah, saya dan Ruby sudah lama bersahabat, kami sama-sama pernah kerja di cafe di Melbourne untuk mencari uang tambahan buat kuliah. Dan dia tau semuanya tentang kamu, tentang kita, dan yang paling penting dia sangat mengerti bagaimana perasaan saya ke kamu."

"Ruby suka dengan nama kamu, Saphira. Itulah alasannya dia memberi nama anak kami Saphira."
"Ooooh jadi itu?" terjawab sudah rasa penasaran ku. 
"Udah ya? Gak usah dibahas lagi, udah gak penasaran lagi kan? Dari kemaren saya terus yang cerita, sekarang gantian dong, saya mau nanya.."
"Hehe... Iya, mo nanya apa?"
"Kamu, udah punya pacar belum?"

"Pacar?"  tanyaku. 
"Mmm, kamu udah nikah ya?" dia berusaha menebak-nebak.
"Hahaha!" aku ketawa liat mimik mukanya yang tiba-tiba berubah jadi worry gitu. 

Lalu kuceritakan semuanya. Bahwa aku baru saja putus dari pacarku 6 bulan yang lalu. Semenjak putus dari Gery 9 tahun yang lalu, perlu waktu 5 tahun untukku bisa membuka kembali ruang hati ini untuk menerima cinta yang lain. Itupun juga karena kupaksa. Ada seorang cowok mapan ngajak serius pacaran. 

Tapi, ditengah perjalanan justru aku yang awalnya gak serius pengen nikah, malah dia yang berbalik menunda-nunda. Ada aja alasannya, ternyata belakangan ketauan dia ada perempuan lain.
Akhirnya kami putus di tahun ketiga.
Hanya selang 2 minggu, aku jadian lagi dengan cowok lain, anak band, 2 tahun lebih muda dariku. 

Kami sepertinya sadar, hubungan ini hanya sebagai pelampiasan. Kami sama-sama baru putus cinta. Kesepian, sama-sama butuh perhatian, butuh teman jalan, dan teman curhat. Akhirnya kami pacaran  cuma bertahan 3 bulan. Dia masih muda belom kepikiran nikah. Sementara aku, udah usia panik pengen nikah. 

"Hehe.. Jadi kamu bukan milik siapa-siapa lagi dong sekarang?" tanya Gery bersemangat. "Kita bisa memulai lagi kan, Fir?"

Aku menatapnya dalam-dalam, entah kekuatan apa yang membuatku berani menatap matanya. Terpancar dari sana sebuah ketulusan dan pengharapan. 

"Kenapa? Kamu ragu, karena aku duda?"

Pertanyaan yang jauh dari perkiraanku itu keluar dari mulutnya.. 

☕️
(belum tamat)


"SEPOTONG HATI"


Suatu pagi di Roemah Roti

"Wow! Fira.. Saya bener-bener gak nyangka kita ketemu lagi." ucap Gery dengan binar matanya menatapku antusias. 

"Yaa.. Saya juga gak nyangka.. Kamu apa kabar, Ge?" tanyaku setelah dia mengendorkan genggaman tangannya, kemudian sama-sama kami sadar bahwa kami terlalu lama bersalaman. 
"Baik, saya baik. Kamu?"
"Baik juga.." jawabku masih gak percaya sekaligus grogi.

Dia, laki-laki yang memutuskan hubungan kami 9 tahun yang lalu tanpa alasan yang jelas, sekarang datang lagi dihidupku. Dan aku tak kuasa untuk tidak bersikap manis dihadapannya. 

"Kamu sibuk apa Fir, sekarang?" tanya Gery membuka percakapan kami pagi itu. 
"Yah beginilah, tiap pagi aku datang kesini. Nyiapin semuanya, baru kalo semua karyawan udah datang, siap buka toko, baru deh bisa ditinggal ngapa-ngapain."
"Ooh, kamu hebat yah masih muda, udah punya cafe sekeren ini. Salut. Selamat yah."
"Hehe, terimakasih. Kalo kamu, sibuk apa sekarang Ge? Oh ya kamu dalam rangka apa datang ke kota ini? Bukannya kamu tinggal di Sydney?" duuuh pertanyaanku terlalu bersemangat yah... Hihihi! 

Gery, 32 tahun, seorang dosen, duda 1 anak. 

Fira, 28 tahun, pengusaha bakery, belum menikah.

Tanpa sadar mataku berkaca-kaca aku terharu mendengar kisah hidup Gery. Enam tahun yang lalu dia menikah dengan perempuan Australia dan dikaruniai satu anak perempuan usia 5 tahun sangat lucu dan menggemaskan. Singkat cerita pernikahan mereka hanya bertahan sampai tahun kelima, mereka berpisah kemudian Gery pulang ke Indonesia membawa putri satu-satunya. 

"Loh jadi sekarang kamu kembali menetap disini?" tanyaku sedikit bersemangat. 
"Iya,  Fir. Kampus kita dulu perlu pengajar yang master di bidang management. So saya dipanggil sama rektor untuk join. Yah rejeki namanya.." ceritanya. 
"Yaa betul-betul rejeki itu namanya, hmm.. Eh, Mana anak kamu?" 
"Oh ya, Vira lagi sekolah.."
"Maksud kamu?" 
"Iya, anak saya Vira namanya, Tiara Saphira. Kenapa kaget?" jelasnya sambil tersenyum penuh arti. 

"Jadi, gini.. Fira, saya bingung nih harus mulai dari mana, tapi saya janji akan ceritakan semuanya. Gimana kalo nanti malam jam 9 saya jemput kamu, saya kenalin kamu sama my little Vira, okay?"

Lalu dia pamit pulang. 

"Wooow! Cantik banget rumah kamu, Ge.. Siapa yang ngurus?" tanyaku penasaran bercampur kagum sambil melihat-lihat interior ruangan. 
"Hehe, ada si Mbok pembantu rumah yang mengurus semuanya juga memasakkan makanan untuk saya dan Vira.."

Kemudian terdengar suara langkah kecil dari tangga disebelah ruang makan. 

"Nah! Tu dia." kata Gery sambil menunjuk ke arah tangga. "Come Vira, this is Aunty Fira. Fira, this is my daughter, Princess Vira.." Gery memperkenalkan putri cantiknya yang mempunyai kemiripan nama denganku. 
"Hi, Princess Vira! Nice to see you.." sapaku kemudian disambut senyum malu-malu dari bibir pink yang mungil.
Kemudian dia membisikkan sesuatu ke Ayahnya.. 

"Hehehe.. Kamu denger dia bilang apa? Dia bilang dia suka kamu, kamu cantik katanya.." kata Gery senyum. 
Aaah, sekarang jadi aku yang malu-malu.. 

Belum sempat aku bilang thank you, anak bule itu langsung lari ke kamarnya. 
"Eh, itu beneran dia yang ngomong apa bapaknya nih?" kataku tembak langsung. 
"Hahaha.. Kamu bisa aja Fir, ya dia lah masak bapaknya. Bapaknya mah..."
"Apa? Bapaknya apa hayooo?" 
Lalu kami tertawa bersama, sedikit menghapus ketegangan diantara kami. 

Si Mbok yang berumur kira-kira 45 tahunan datang membawakan kami 2 cangkir bajigur dan 2 piring berisi mi goreng ke teras samping rumah. 
"Anak kamu deket yah sama kamu Ge?" 
"Iya Fir, sejak bayi saya yang sering mengurusnya. Waktu di Sydney kami gak ada baby sitter, hanya part timer aja yang datang 2 hari sekali bersih-bersih rumah dan laundry."

"Loh, emang ibunya kemana? Kok kamu yang ngurus Vira? Eh, maaf ya kalo aku tanya-tanya gini.."

"Gak apa-apa, Fir justru saya malah seneng kalo kamu mau denger cerita saya."
"Hmm, okay. Lalu?"
"Ya, mantan istri saya seorang pekerja seni, dia sangat sibuk dengan teater nya sampai-sampai mengurus suami dan anaknya pun tak sempat. Dia tak mau mendengar kata-kata saya, akhirnya dia pun merelakan saya membawa Vira kesini." cerita Gery panjang. 

"Gilak yah? Ada gitu ibu macam gitu?" komentar spontan mengalir dariku. 
"Itu dia, Fir. Tadinya aku pengen mempertahankan demi Vira, tapi aku pikir keluarga yang sesungguhnya bukan seperti ini. Makin lama dia makin salah pergaulan Fir, dan saya gak mau Vira tumbuh dengan contoh ibunya yang seperti itu. Makanya kami memilih berpisah secara baik-baik dan dia okay-okay aja tuh."

"Oooh.. Gitu. Eh, tunggu-tunggu, jadi gimana ceritanya tuh, Fira dan Vira?" tanyaku setelah penasaran dari tadi pagi. 
Gery pun tersenyum.. 
"Tapi jangan ge-er yaa.." pesannya sedikit menggodaku. 
"Ah, apaan sih kamu.. Cepetan cerita, kamu janji loh!" tepisku sambil kuselipkan rambut di belakang telingaku, menyembunyikan rasa maluku -- salah tingkah. 

"Sebelumnya, saya mau minta maaf sama kamu, Fir. Tentang 9 tahun yang lalu. Sebenernya saya sangat cinta kamu saat itu. Tapi saya harus memilih. Saat itu keadaan ekonomi keluarga saya lagi kacau, ayah ibu saya ingin berpisah, tugas akhir terbengkalai. Justru karena saya sayang kamu, maka saya terpaksa melakukannya. Saya takut hidup kamu susah kalo terus bersama saya, Fir."

Kemudian hening sesaat...

"But why you didn't tell me?" 

"Saya bener-bener minta maaf,  Fir. Saya fikir keputusan terbaik saat itu adalah meninggalkanmu. Saya tau kamu sedih, saya tau kamu marah. But now, please, tell me what can I do for you to pay all the time when i was not there... Please? Kamu mau kan maafin saya?" pintanya. 

Sambil menahan air mataku supaya tak jatuh, aku mulai mengatur suara untuk mencoba menyampaikan semua perasaan ini. 

Aku menghela nafas.. 
"Susah Ge, sudah terlalu lama. Bahkan hampir saya menguburnya dalam-dalam rasa sakit dan kecewa parah, mencoba memahami sendiri apa yang udah kamu lakukan ke saya. Lalu mencoba memaafkan dan melupakan. Tapi, selalu gagal." aku tak sanggup berkata-kata lagi. Pecahlah tangisku didepan Gery. Seumur-umur baru kali ini aku nangis didepan cowok. 
Kemudian Gery menyodorkan tissue kotak kepadaku. Dan duduk disampingku. Aku merasakan tangannya menyentuh pundakku. 

"Sudah, sudah.. Maaf kalo saya malah membuatmu sedih lagi. Maafin saya ya, Fir? Saya hanya pengen memperbaiki hubungan kita lagi. Apa masih bisa?"
Aku terdiam beberapa saat, 

"Sudah malam, Ge.. Saya mau pulang." semua pikiran berkecamuk di otakku. 
"Okay, saya anterin kamu pulang sekarang. Tapi, pertanyaan saya, Fir? Masih bisa gak kita seperti dulu lagi?"
"Can we talk later, please?" 
"Okay then.."

Pagi ini aku datang ke cafe dengan muka sembab dan mata yang kurang tidur. Kubuat secangkir kopi sebagai tendangan semangat untuk hari ini. 

Sepotong hati yang kau bawa pergi
Kini menuntunmu untuk kembali 
Masihkah mungkin potongan-potongan itu menyatu lagi?  

☕️
(belum tamat)



Monday 8 February 2016

Romantika Gilang dan Rana Bagian 3 (TAMAT)

Jogja, 24 September 2004
Kantor
Tadi siang tiba-tiba badanku meriang, pusing kepala, panas demam, sampai menggigil kedinginan. Lalu Bu Ida, supervisor ku menyuruhku pulang awal saja supaya bisa istirahat. Tapi sebelumnya aku sempat dikeroki dan diurut-urut sama mbak Siska, juga dibuatkan teh panas. Setelah setengah jam tiduran di ruang kesehatan dan agak mendingan, aku pulang minta jemput Adi.

Tapi sebelumnya Adi menemaniku kerumah dr. Gunawan, teman dekat bapakku yang sudah seperti saudara dan menjadi dokter langganan keluarga kami. Dia memaksaku untuk cek ke dokter, supaya dapat obat dan bisa tidur nyenyak. Setelah diperiksa tekanan darah, suhu badan dan tenggorokan juga mata kemudian dr. Gunawan menuliskan resep. Aku diberi obat penurun panas dan antibiotik. Kata dokter hanya radang tenggorokan.  
Tapi aku diberinya juga surat untuk istirahat 2 hari, dikarenakan penyebabnya adalah kecapekan. Ya, memang 2 hari yang lalu aku baru pulang dari Semarang, ada acara kantor dan langsung disambut kerjaan yang menumpuk. 

"Tuh kan, aku udah sering bilang, jangan lupa makan. Tidur juga jangan malem-malem.. Jam 10 paling telat udah harus tidur, kan paginya kamu kerja seharian. Pulang-pulang capek kadang masih harus ngerjain yang lain, cuci baju lah, nggosok lah, masak.. Coba! Kan? Orang kerja itu lebih capek lho daripada kuliah." Cerocos Adi sambil nyubit pipi kananku begitu kami masuk ke sebuah mobil sedan milik ayah Adi, sepulang dari rumah dr. Gunawan. 
Aku hanya terdiam lemas, puyeng, denger omelan Adi sepanjang jalan. 
"Yaaa ya.." Kemudian jawabku lirih. 

***
Sesampainya didepan rumah ibu kos, Adi keluar dari mobilnya tanpa mematikan mesin kemudian berjalan memutar dan membukakan pintu untukku. Mengusap-usap kepalaku dan menyuruhku segera masuk dan istirahat. Kemudian dia langsung pulang. 

Kamar kosku terletak dibelakang rumah induk. Jadi semua anak kos ataupun tamu harus melewati halaman rumah ibu kos dulu sebelum memasuki kamar-kamar mereka, tapi ada pintu khusus menuju kesana. 

Kamar Kos
Beep.. Beep..
'Ah, aku lupa mematikan HPku..' Kataku dalam hati. SMS masuk disaat mataku hampir terpejam. Kubuka saja pesan masuk daripada penasaran. Baru setelah itu akan ku non-aktifkan. 

Gilang :
['Hey Rana! Pakabar? Sorry ggu, lg krj pa lg istrht?']

Aku :
['Gilang.. Ak lg dikosan, td blk cpt. Sakit :) ada apa Gilang?']

Gilang :
['Oh skt apa? Byk minum non, istrht. Aq jenguk y? Dmn kosan km?']

'Waduh?!' Gumamku dalam hati..
'Serius dia mau kesini?'
Mendadak badanku rada enakan. Sakit kepalaku sembuh seketika. Entah gara-gara obat yang mana nih... Hmmm.. Lama aku berfikir, bingung harus kujawab apa. 

10 menit kemudian...
Aku :
['Km mo ksini bnran? Ntar ada yg mrh? Udh gpp, ak gpp kok cm kecapekan n bth istrht aj..']

Gilang :
['Y udh kl gt kpn2 qt ktm y Rana.. Jgn lp byk mkn buah. Ok? Met istrht. Cpt smbh y..']

Nyesss rasanya baca sms dari Gilang... Sumpah, langsung seger lagi ini badan. Apa arti semuanya ini ya Tuhan? Duuuhh.. Berselingkuhkah aku? Menduakah aku? Bagaimana dengan Adi?
'Mengapa kamu hadir disaat aku sudah bersama orang lain, Gilaaaaang??' Kuhujamkan kepalan tanganku ke guling disampingku, gemes!  


Jogja, 25 September 2004

Hari ini adalah hari ulang tahun Gilang. Aku masih ingat betul, 4 tahun yang lalu aku mengirimkan hadiah untuknya. Sekotak cake berdiameter agak kecil dan kado berisi kaset album grup favoritnya, The Beatles. Harganya Rp. 40.000 cukup mahal pada waktu itu. Aku termasuk orang yang mau membayar berapapun untuk kuberikan pada orang yang kusayang. Tapi tetep melihat kemampuan juga sih. Yang kubeli waktu itu adalah album kumpulan lagu-lagu terbaik The Beatles. Dan gak hanya satu kaset tapi satu paket berisi dua kaset, didalamnya mungkin ada sekitar 30-an lagu. Aku pilih kaset itu karena kami sama-sama penyuka lagu-lagu lawas, terutama lagu I Will dari The Beatles, salah satu lagu kenanganku dan Gilang. 

***

Masih dalam rangka memanfaatkan surat keterangan sakit, di kamar ditemani ikan-ikan yang berenang kesana kemari didalam akuarium berukuran kecil, aku bingung.. SMS atau gak ya? Ngucapin gak ya? Ah, akhirnya kuberanikan diriku untuk memulai menghubunginya lagi. Pertama-tama aku kirim MMS, yaitu pesan bergambar kue tart bertuliskan 'Happy Birthday To You' kemudian gambar kartun mickey mouse meniup lilin-lilin yang tertancap diatas kue tersebut, lalu disusul gambar kartun minnie mouse datang dan mencium si mickey... Hihihi lucu yah!

Langsung dijawab oleh Gilang...
Gilang :
['He3x.. Mksh Rana. Km msh inget ya ultahku?']

Aku :
['Inget dong :) msa lupa. met ultah y.. Smg pjg umur, sehat n sukses sll. Amin3.']

Gilang :
['Amin, tq y! Gmn udh enakan blm? Udh mnm obat? Rana, km skrg makin lucu ya.. ;p']

Oh mai gat!! Kata-kata itu lagi yang terucap darinya.. 'Rana, kamu sekarang makin lucu ya..' Ya Tuhan, skenario apalagi yang akan kau torehkan?

Aku :
['Yeee.. Km ah. Udh mendingan, tp msh hrs diabisin obatnya. Bosen nih dikos mulu :(']

Gilang :
[Nti mlm qta jln yuk, mw g? Eh, km ntar ada yg mrh g kl aq ajak jln? Hayo..']

Terperanjat aku dibuatnya, dari yang tadinya tiduran santai diatas kasur langsung terbangun posisi duduk sambil membelalakkan mataku, kubaca sekali lagi SMS dari Gilang. 
'Ini beneran? Dia ngajak jalan?'
Kuambil bantal lalu kubenamkan wajahku diatasnya kemudian teriak sekencang-kencangnya.. 
'Gilaaaaaaaaang..!!'

***

Waktu menunjukkan jam 3 sore, aku baru bangun dari tidur siang. Kuambil HP disamping tempat tidurku, ternyata ada 2 pesan masuk, satu dari Gilang, satu lagi dari Adi. Dan 3 kali missed call dari Adi. 

Gilang :
['Gmn, bs g? Kok g dibls smsku? Tdr ya? Kbrn y, aq tggu..']

Aku :
['Iy sorry Gilang ak ktdrn td, hehe.. Nti ak kbrn y, ak mw mandi dl.']

Aku sibuk memikirkan gimana caranya biar bisa jalan sama Gilang, tapi Adi jangan sampai tau. Aku sebetulnya pengen banget ketemu Gilang. Tapi gimana perasaan Adi kalo tau aku jalan sama cowok lain? Mantan pacar pula.. Duuuh Andilau deh... Antara dilema dan galau *tepok jidat dua kali* 

Aku coba menelpon Adi...
"Hallo sayang, bangun tidur ya?" Sapanya dari ujung sana. Adi selalu memanggilku dengan sebutan sayang, padahal aku sekalipun tak pernah memanggilnya sayang, kecuali kalo disuruh. Duh! Parah ya? 
"Iya Di, sorry tadi tidur, gak denger bunyi HP.." Jawabku dengan suara masih agak parau. 
"Iya, gak papa emang kamu harus banyak istirahat. Gimana udah sehat? Makan malam nanti gimana? Mau aku beliin gak? Makan di kosan aja.. Ntar aku mampir bentar jam 5 an ya?" Kata Adi bersemangat. Dia memang seorang cowok yang cerewet, rame dan agak bawel. Iya sih perhatian banget tapi kadang kesannya jadi suka ngatur. 
"Ngng.. Gak usahlah Di. Aku ntar nitip anak kos aja.." Sanggahku rada cemas. 
"Nitip siapa.. Ini malem minggu lho, yang ada mereka pasti pada keluar dan pulangnya malem. Telat dong nanti makan nya klo kamu nitip mereka? Udah, nanti aku aja yang beliin.. Udah dulu ya.. Jam 5 ya sayang!" Katanya panjang kali lebar..
"Oke deh.. Daaaah!" Jawabku singkat. 

Dari awal aku kenal Adi tidak ada sedikitpun rasa tertarik apalagi suka. Kami bertemu lantaran dikenalkan seorang teman kampusku dulu, Dayu namanya. Adi itu teman main Dayu, dan sebetulnya waktu itu Dayu menyimpan rasa pada Adi. Tapi Adi sepertinya tidak menanggapi, dia lebih intens mendekati aku. Aku pada posisi yang sulit saat itu. Apalagi ketika Adi menyatakan perasaannya padaku. Aku benar-benar dilema, aku minta waktu untuk berfikir sebelum aku memutuskan menerima atau tidak. 

Pada dasarnya Adi itu baik hatinya, tapi sebenarnya alasan terkuat untukku menolaknya adalah... Klise memang, aku masih belum bisa melupakan masa lalu ku. Aku masih menaruh harapan pada Gilang. Aku masih mencintai Gilang. Aku masih menunggu Gilang datang kembali padaku. Dan Adi jauh dari kriteria cowok impianku, yang jelas aku tidak mencintainya. Namun dukungan yang kuat dari orang tua dan teman-temanku lah yang membuatku akhirnya menerima Adi sebagai kekasihku. Diluar itu aku hanya mencoba menjalani saja berharap cinta itu datang seiring berjalannya waktu.

Dan yang paling membuatku terharu ketika Dayu memilih untuk mengalah dan merelakan jika memang akulah yang Adi pilih. 
"Ran.. Sekarang udah jelas Adi lebih memilih kamu. Terimalah! Kamu jangan mikirin orang lain, jangan mikirin aku.. Aku gak papa, mungkin memang dia bukan untukku. Sekarang waktunya kamu temukan kebahagiaanmu! Bertahun-tahun buat apa kamu menunggu orang yang gak jelas juntrungannya? Jangan bodoh Rana..." Kata Dayu saat itu dengan nada tinggi namun sesekali suaranya terdengar terbata-bata.
"Ya tapi... Day.." Mataku mulai berkaca-kaca. Lalu kuraih bahu Dayu dan kamipun berpelukan dalam isak tangis berdua. 

***

Jam 5 kurang 5 menit, bel kos-kosan berbunyi. Adi datang membawakanku sebungkus nasi padang dan minuman jeruk panas yang dibungkus plastik. Dari dalam kamar aku membawa keluar 2 piring dan 2 gelas untuk makan aku dan Adi. 

Kosku yang sekarang kos kosan putri yang ketat dengan peraturan. Ada waktu berkunjung dan jam 10 malam pintu pagar mulai dikunci. Tamu putra dilarang masuk kamar. Tersedia satu ruang tamu dan satu ruang makan terbuka yang bisa kami gunakan untuk menerima tamu. Kami hanya bertujuh dan antara kamar-kamar kos dan rumah induk hanya dipisahkan oleh taman seluas kira-kira 6x8 meter persegi. Jadi siapa yang keluar masuk tetap terawasi oleh yang punya kos. 

"Hai sayang, udah seger tuh gak pucat lagi kok.." Sapa Adi begitu aku datang sambil mencium keningku. 
"Yaah.. Mendingan lah, tidur mulu.. Yuk makan, ntar keburu malem, kamu ikut makan juga kan? " Tanyaku ingin memastikan.
"Iya nih aku beli dua bungkus.." Katanya sambil membuka bungkusan nasi dan ditaruhnya diatas piring. 

Setelah selesai makan Adi pamit pulang, dia harus sampai dirumah sebelum maghrib karena ayah ibunya mau pergi kondangan. Adi harus jaga rumah. 
"Aku gak bisa lama-lama nih, Yang.." Katanya. 
"Iya gapapa, Di.. Tenang aja aku juga pengen istirahat aja di kos.." Kataku terpaksa berbohong.. Padahal kan Gilang mau ngajak keluar. 
"Ok deh, kamu baik-baik ya.." Diciumnya lagi keningku, lalu dia pulang. 

***

Kubereskan kertas sisa pembungkus makanan dan plastik minuman dari atas meja lalu kubuang ditempat sampah. Kemudian kuberjalan agak cepat langsung menuju kamar. Kuketik pesan di telepon genggamku dan kutekan segera tombol SEND ke nomor Gilang. 

Aku :
['Gilang, sorry br bls lg. Ak bs nih, mw jln jm brp tar mlm?']

Gilang :
['Oke! Jam 7 aq jmput gmn? Oy, kos km dmn almtny?']

Aku :
['Blh jm 7 ya.. Kosku di jl sagan no1331.']

Gilang :
['Sip, tggu aq ya!']

Yes!! Akupun senyum sumringah didepan kaca meja rias di kamarku.

***

Eh, kok aku deg-degan ya? Sebentar lagi jarum jam mengarah ke angka 7. Aku sudah siap dengan celana jeans biru dongker, t-shirt hitam lengan panjang berkerah tinggi. Cardigan warna coklat susu hanya aku jadikan shawl dipundak dan kuikat sekali bagian lengannya didepan dada. Make up tipis hanya sedikit bermain di mata, kupilih eyeshadow warna bronze yang kupadukan dengan warna coklat tua. Lalu kubingkai mataku yang agak sipit dengan liquid eyeliner warna hitam supaya keliatan agak melek dikit, hehehe... Terakhir kubaurkan perona pipi warna pink muda campur beige dan lipstik warna nude. That's all!


'Ting tong ting tong.. Assalamualaikum..'
Kudengar bel berbunyi, itu pasti Gilang tebakku. Segera aku samber tas slempang denim andalanku lalu keluar dari kamar dan kukunci pintu. Kupakai sepatu flat warna hitam berlogo huruf G kemudian setengah berlari aku menuju pintu depan. 

"Hai!" Sapa Gilang dari balik pagar. 
"Hai jugak.." Sambutku sedikit grogi. Sudah lama aku tak merasakan hatiku se-colourfull ini. 
"Tuh kan, kamu sekarang makin lucu deh!" Godanya setelah melihat penampilanku yang sangat jauh berbeda dibanding ketika mahasiswa dulu.
Hmmm! Rayuannyaaa... Dia biasa menyebutku lucu, entah kenapa? Mungkin karena aku imut seperti anak kecil.. Hehehe!
"Aaah kamu.. Yuk, mau jalan kemana kita?" Kataku mengalihkan perhatian. Sebenernya hanya supaya dia tidak terus-terusan membuatku gugup aja sih.
"Boleh gak aku nitip motorku disini, trus kita jalan aja ke mall sebelah. Kan deket.." Pintanya padaku. 
"Oke, boleh juga.. Sini biar aku aja yang masukin.." Aku menuntun sepeda motor bebek warna hitam legam ke garasi dibantu Gilang yang mendorong dari belakang. 

***

Disepanjang jalan menuju mall aku seakan-akan terbius kenangan 4 tahun silam. Disaat kami biasa berjalan berdua, bergandengan tangan, menyusuri jalanan komplek menuju warung mahasiswa itu.. Hujan-hujan satu payung berdua, dan dia suka sekali memercikkan air hujan yang jatuh dari ujung ruas-ruas payung ke mukaku, kemudian kuserang dia dengan cubitan-cubitan sayang... Plak!! Rana sadar!! 
Aku mencoba menepis bayangan indah itu. Lalu ketika kami sampai di ujung gang, tiba-tiba ada motor yang belok ke arah kami agak mepet. 
"Awas!" Kata Gilang sambil menarik lenganku. Secara spontan Gilang menarik tubuhku mendekat dan hampir aku jatuh dipelukannya (lagi)..
Kemudian kami saling bertatapan, dia canggung dan aku tersipu malu. Kamipun meneruskan langkah kami. 

***

Sesampainya di dalam mall, kami mencari restoran sekedar untuk nongkrong dan ngobrol di malam minggu. Akhirnya kami menuju ke sebuah restoran yang menyajikan masakan ala Jepang, yang letaknya cukup strategis dan tempatnya pun sangat nyaman. Kami memilih duduk di sofa dekat kaca supaya santai dan bisa melihat pemandangan diluar. Padahal juga cuma liat kendaraan-kendaraan yang lewat. Gilang memesan Dragon Balls BBQ dan Orange Juice sementara aku pilih dessert aja, Banana Chesse Cake dan Hot Japanese Tea. Maklum selain masih kenyang, tenggorokan lagi gak enak belom berani minum es. 

"Rana, kamu.. Gak ada yang marah kalo aku ajak jalan gini? Maksudku pacar kamu.." Tanya Gilang membuka percakapan. 
Sebenernya aku males membahas Adi didepan Gilang. 
"Hmm.. Gak lah!" Jawabku enteng sambil kuhirup teh yang masih panas.
"Lah, cewek kamu gimana? Gak malem mingguan? Kok malah ngajak aku jalan sih?" Sambungku dengan maksud mengalihkan pembicaraan.
"Ooh.. Itu.. Cewek aku gak disini Rana, dia kuliah di Bandung. Kemaren itu dia dateng ke acara wisuda kakaknya. Dikampus kita dulu. Waktu kamu telfon itu dia dan keluarganya lagi mampir ke kontrakan aku." Ceritanya pelan dan santai sambil menusukkan garpu ke makanannya lalu menyantapnya.
"Ooooh gitu.." Jawabku singkat. Perasaanku tak menentu. Antara sedih dan kecewa mengetahui Gilang sudah punya pacar juga bahagia karena sekarang dia ada didepan mata. Ah sudahlah, nikmati dulu saja sekarang apa yang ada. 

***

Waktu berjalan terasa begitu cepat. Tiba-tiba kumerasa ada yang bergetar dari dalam tasku. Kurogoh HP kulihat sepintas nama Adi muncul di layar HP. 
'Wah gawat nih!' Pikirku dalam hati. Kuurungkan niatku untuk menjawab panggilannya. Biarkan saja. 

"Siapa yang nelfon? Kok cuma diliatin aja?" Ternyata Gilang memperhatikan gerak-gerikku. Aku langsung salah tingkah. 
"Oh itu tadi temen.. Iya, temen kosku. Ngng.. Gapapa biarin aja klo penting nanti kan telfon lagi.." Kataku sekenanya. 
"Oooh.. Temen apa temen?" Candanya.
Hadeuh.. Mati kutu dah eyke! *tepok jidat untuk yang kesekian kali*

"Eh kita balik jam berapa, kosan kamu ada jam malemnya gak?" Lanjutnya seperti khawatir. 
"Jam 10 dikunci pagernya. Eh ya ampun, iya bentar lagi dong ini udah jam 9.40.." Jawabku sambil kulihat jam ditangan kiriku. 
"Oh iya.. Gak kerasa udah 2 jam lebih kita ngobrol disini. Yuk! Mau sekarang kita pulang?" Ajaknya. 
"Ayuk.." Kataku sambil melingkarkan tas di bahu ku kemudian mengusap mulutku dengan tissue. Gilang beranjak dari duduknya kemudian kususul dia dan kami keluar dari mall melalui pintu samping. 

***

Dalam perjalanan pulang dari mall menuju kos-kosan, kami lebih banyak terdiam. Sesekali hanya membahas apa yang kami lihat dijalan, entah rumah lah, pohon lah. Anginpun berhembus sedikit kencang membuatku melipatkan kedua tangan didadaku. Seketika itu juga Gilang meminjamkan jaketnya untuk menutupi tubuhku yang kedinginan. Menurut dia cardigan yang aku pakai terlalu tipis hingga dia melepas jaketnya kemudian menyelimutiku dengan jaket kulit yang hangat itu. Akupun terdiam menunduk menikmati jalan kampung yang sepi berdua dengan Gilang. Entah apa yang ada di benaknya kali ini aku tak mau terlalu berandai-andai. 


Jogja, 1 Desember 2004

Aku sadar sepenuhnya bahwa untuk memiliki Gilang kembali adalah hal yang tak mungkin. Posisi kami sama-sama sudah tidak sendiri lagi. Dan sampai detik ini pun tidak ada tanda-tanda serius atau kejelasan antara hubunganku dan Gilang. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa masih ada Tuhan yang bisa merubah segalanya.

Justru malah Adi yang terlihat makin serius mendekati keluargaku. Oya, dia mengajakku menikah tahun depan. Aku mulai berfikir. Aku bukan anak kecil lagi, dalam menjalani suatu hubungan tidak semestinya aku hanya main-main. Aku harus memikirkan masa depanku. Sudah ada didepan mata, laki-laki tampan, mapan, calon dokter pula, dari keluarga baik-baik... Kurang apa lagi? Gak adil rasanya kalo aku mati-matian mengharap yang tak pasti, sementara ada orang yang mau menerima aku apa adanya tapi sama sekali tak kuhiraukan. Aku gak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.

Oke, aku memutuskan untuk melebur semua kenangan-kenanganku bersama Gilang. Mungkin sudah saatnya aku mengubur semua masalaluku dan memulai hidup baru demi masa depanku. Aku bakar surat usang itu, bunga kering pemberian Gilang di hari valentine dan buku diary yang berisi kisah manis dan pahitku bersamanya. Meski sambil menahan isak tangis, aku harus melakukannya. Mungkin ini salah satunya yang membuatku tidak bisa melupakan Gilang. Aku harus menutup memori itu. Aku harus bisa! Sekarang saatnya membuka lembaran baru... 

Sayup-sayup terdengar lagu Air Mata punya Dewa dari radio di dapur ibu kos. Lengkap sudah kesedihanku sore itu...

Air mata telah jatuh membasahi bumi
Takkan sanggup menghapus gelisah
Penyesalan yang kini ada
Jadi tak berarti
Karna waktu yang bengis terus pergi

Menangislah bila harus menangis
Karena kita semua manusia

Manusia bisa terluka manusia pasti menangis
Dan manusia pun bisa mengambil hikmah

Dibalik segala duka tersimpan hikmah
Yang bisa kita petik pelajaran
Dibalik segala suka tersimpan hikmah
Yang kan mungkin bisa jadi cobaan

***

Tak lama kemudian, datanglah SMS dari Gilang...

Gilang :
['Rana, lg ngapain? Nti sore km ad acr g? Temenin aq ke gramed yuk..']

Waduh! Ujian.. Mengapa engkau selalu datang tiba-tiba? 

Aku :
['Hmm Gilang, maaf bgt y.. Kynya ak g bs, skrg ak mst ijin dl kmn2. Km ngerti kn mksd ak?']

Jujur, berat rasanya aku membalas SMS itu. Tapi semoga dengan SMSku itu Gilang mengerti maksudku. Aku sebenarnya ingin bilang 'sudah Gilang jangan hubungi aku lagi' tapi tak tega rasanya. Sekarang aku hanya bisa pasrah, kalo memang dia benar-benar menginginkan aku apapun yang terjadi dia pasti mencariku. 

Gilang :
['Iy gpp kok, aq ngrti.. Sorry yah!']


15 Bulan kemudian...
Jogja, 23 Maret 2006

Berbulan-bulan tidak ada kabar dari Gilang. Diapun tidak juga mencariku. Ternyata SMS itu adalah SMS terakhir yang dia kirimkan padaku. Kebetulan beberapa bulan yang lalu aku mengganti HP ku dengan yang baru juga nomor baru. Dan aku sengaja menghapus nomor Gilang dari phone book aku. Memang sudah niatku benar-benar menghapus jejaknya dari hidupku. Mungkin memang sudah takdirku, dia bukan jodohku. Karena keadaan ini kami jadi saling menjauh. 

***

Tak disangka, bulan demi bulan Adi malah menunjukkan sifat aslinya. Muncul ketidakcocokan dan makin banyak konflik antara kami berdua. Dia semakin posesif dan aturan-aturannya lama-lama membuatku muak dan tidak bisa bergerak bebas. Dan kamipun sering berantem, sempat putus kemudian nyambung lagi, putus lagi nyambung lagi. 
"Aku capek Di, jalan sama kamu kalo begini terus..." Kataku perlahan ketika dia datang ke kosku. 
"Kamu kenapa sih?" Sanggahnya curiga dan sedikit emosi. 
"Maaf ya.." Lanjutku, "Giliran aku yang ngomong sekarang. Aku gak bisa terus-terusan kamu atur, harus beginilah begitulah, aku udah gede Di.. Aku tau mana yang baik mana yang gak. Aku punya prinsip. Dan aku nerima kamu buat jadi pacar aku itu aku berharap kamu bisa ngelindungin aku, ngejaga aku.. Bukannya malah mengekang hidupku. Aku udah cukup sabar dan ngalah terus sama kamu selama ini.." Kataku sedikit kesel. 
"Iya, tapi kan kamu perempuan harus nurut dong sama laki-laki.." Bantahnya. 
'Huft!! Aku gak sukanya dia itu begitu deh... Sok banget! Jadi suamiku aja belom udah sok-sok an ngatur-ngatur.' Gerutuku dalam hati. 

Tapi aku mencoba untuk tidak emosi waktu itu. Seperti biasa aku tetap di posisi yang lemah. Sebetulnya aku sudah siap dengan segala resikonya kalo memang hubunganku dan Adi harus berakhir. Karena hubungan ini sudah tidak sehat, akupun jadi enggan menjalaninya. Toh aku sudah lama juga berusaha mencari solusi yang terbaik, dan jawabannya semua ada ditanganku, aku yang menjalaninya. Keluarga dan teman-temanpun sudah mengetahui duduk persoalannya, mereka mendukungku kalo aku harus mengakhiri hubunganku dengan Adi. 

Melihatku diam lalu Adi yang masih duduk disebelahku menggenggam tanganku dan berkata "Ya sudah sekarang kamu maunya gimana?"
Pelan-pelan aku melepaskan genggamannya, kemudian lirih aku berkata "Maafin aku ya Di.. Kita udahan aja deh."
"Maksud kamu?" Katanya sambil memandang serius kearahku. 
"Iya, kita putus ajalah. Aku gak bisa lagi maksain diriku harus sejalan dengan pikiran kamu.." Kataku mantap. 
"Yang, kamu yakin?" Tanya Adi. 
"Iya.." Jawabku santai kemudian senyum padanya dan kulihat dimatanya ada rasa kecewa. Akupun menunggu apa yang akan ia katakan. 
"Oke lah, kalo memang gitu mau kamu.." Jawabnya setelah terdiam beberapa saat. Terlihat dia ingin marah tapi tertahan. Lalu dia berdiri mengancingkan jaketnya rapat-rapat dan memegang bahuku sebentar kemudian pamit pulang. 

Ada rasa lega mengalir dalam tubuhku, akhirnya aku bisa melepaskan diri dari belenggu Adi. Putus pacaran bukannya sedih ini malah bahagia... Benar-benar saat itu aku seperti seekor burung yang baru saja lepas dari sangkarnya. Bebas! Mau kemana gak ada yang ngelarang. Mau beli ini itu gak ada yang protes. Plong rasanya!


Jogja, 25 Agustus 2006

Yang jelas 5 bulan semenjak putus dari Adi aku menikmati masa-masa kesendirianku. Sendiri bukan berarti gak ada teman ya.. Justru aku bisa bebas jalan dengan teman-temanku, bebas melakukan apa yang aku suka, shopping, nongkrong di cafe, karaokean, ke salon, spa, nonton dan semuanya bisa aku kerjakan tanpa ada larangan dan batasan dari seseorang. 

Hari-hari berganti, bulanpun berlalu. Begitu mudahnya aku melupakan Adi, namun tidak untuk Gilang. Masih saja bayangan itu muncul secara tiba-tiba. Entah hanya sekilas lamunan ataupun hadir dalam mimpi. Kadang aku sampai benar-benar merasa sedih dan menangis dalam kenyataannya. 

Oh tidaaaaakk.. Move on dong Rana!!!

***

Sore hari itu sangat cerah, mbak Retno, seniorku di kantor sekaligus teman curhatku mengajakku pergi berdua. Kebetulan hari itu hari ulang tahunku. Namun seperti tahun-tahun sebelumnya aku tak pernah merayakannya. Kadang hanya sekedar makan malam bersama Adi atau temanku yang lain. Kata mbak Retno dia akan menjemputku kemudian kita nonton film di bioskop. Saat itu film baru yang sedang diputar di bioskop adalah Heart. Nirina Zubir, Acha Septriasa dan Irwansyah sebagai para pemerannya. 
"Mbaaak.. Mbak Rana, dicari temennya." Suara mbak Narti dari balik pintu kamarku. Dia pembantu ibu kos, pemegang kunci pagar depan. Kalo ada anak kos yang mau pulang agak larut, bisa dilobi tuh mbak Narti. Kasih martabak kek, roti bakar kek, dia udah seneng kok. Hihihi! 
"Oh ya mbak.. Tolong bilangin tunggu bentar ya mbak, 5 menit lagi.." Jawabku tanpa kubuka pintu kamarku. 
"Yaa.." Kata mbak Narti lalu pergi. 
"Makasiiih.." Teriakku kemudian. 

5 menit kemudian aku membuka pintu kamar lalu menguncinya kembali.
Astaga!! Aku kaget bukan kepalang begitu keluar dari kamarku.. Bukan mbak Retno yang datang mencariku. Aku memperlambat langkah kakiku sambil mataku terus tertuju pada sosok laki-laki yang bersandar ditiang penyangga ruang tamu depan, membelakangiku. Aku mengenalinya, sangat mengenalinya. Masih dengan hati yang berdebar, kutelan ludah untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba mengering. Lalu kuberanikan diri menyapanya...
"Mmm.. Gi-lang?" Kataku pelan
Laki-laki itupun membalikkan badan dan...
"Hai Rana, pakabar? Nih.. Buat kamu, selamat ulang tahun yaa.." Dia menyodorkan setangkai bunga mawar merah berbalut plastik cantik dan berpita biru untukku. 
Aku menerimanya dalam keadaan bingung sebingung-bingungnya. Mataku langsung berkaca-kaca, perasaanku tak menentu, kaget, senang, sedih, bingung, takut.. Ah semuanya berkumpul jadi satu saat itu. Kemudian Gilang mendekat dan menarik tanganku perlahan, menggenggam tanganku yang masih memegang bunga darinya. Lalu dia mengambil bunga itu dan meletakkannya diatas meja disamping kami. Kemudian dia menatapku dalam, akupun terus menatap mata itu sampai tak tahan lagi meneteslah air mataku lalu kudekap dia erat. Gilang pun memelukku kemudian mencium rambutku. 
"I love you, sayang.." Bisiknya lembut di telingaku.
Sungguh aku tak bisa berkata-kata, selain menumpahkan semua rasa rinduku yang terpendam selama ini. Aku.. Ah, aku tak bisa mengungkapkan perasaanku saat itu, yang jelas aku bahagia. Setelah beberapa menit kami terbuai dalam pelukan rindu yang dalam dan masih sambil terisak aku berusaha mengatakannya.. "Aku sayang banget sama kamu Gilang...." 
"Iya Rana, aku juga sayang banget sama kamu. Maafin aku ya, dulu..." Aku buru-buru menutup mulutnya dengan jemariku. 
"Sshh, aku yang minta maaf aku gak bisa ngertiin kamu waktu itu.." 
Lalu tangannya menyentuh pipiku dan mengusap airmataku.. Kemudian perlahan dia dekatkan wajahnya ke wajahku.. Kulihat dia mulai memejamkan matanya, akupun terhanyut.. Dan akhirnya kedua bibir kami bertemu.. Kami berciuman penuh rasa rindu yang menggelora. 

Pim piiimm... 📢📢
Aseeemmm! Suara klakson mobil itu membuyarkan konsentrasi kami berdua. Gilang pun tersenyum penuh arti seperti ada yang ia sembunyikan. Lalu dia menarik tanganku mengajakku keluar dari ruang tamu menuju ke teras depan. Tak lupa aku ambil dulu bunga mawar pemberiannya tadi dari atas meja. Dan ternyata, suara klakson tersebut berasal dari mobil mbak Retno. Ternyata mbak Retno sudah menunggu lama didalam mobil. Tapi tiba-tiba kakiku tersandung pot bunga pembatas antara jalan semen dan rerumputan ditaman depan rumah ibu kos, karena Gilang menarikku terlalu bersemangat. Dan akupun jatuh tersungkur... Dari kasur... Kemudian kubuka mataku... Loh?? Wuaaaaaaa!!! Cuma mimpi.... Aku kesel.. Keseeeellll!!! 

Aku merasa mataku agak basah, ternyata aku benar-benar menangis dalam tidur siangku. Dan kuraba bibirku, bekas ciuman dengan Gilang dalam mimpi tadi, kemudian bercermin, tidak ada yang berubah... Hanya mataku saja yang terlihat sembab. 
Tapi ada perasaan lain dalam diriku. Sepertinya aku merasa lega. Mendengar pernyataannya, bahwa dia mencintaiku dan akupun mengatakan apa yang aku pendam selama ini. Walaupun dalam mimpi, akhirnya kami bertemu juga. Semoga dimanapun Gilang berada, dia selalu dalam lindungan Nya. Mungkin sekarang dia sudah menikah dengan kekasihnya, entah lah? Dan aku... Siap menjelang hari dan meraih mimpi-mimpiku. Sendiri...

(TAMAT)


Saturday 6 February 2016

Romantika Gilang dan Rana (Bagian 2)

4 Tahun kemudian...

Jogja, 28 Juni 2004

Bulan September tahun 2003 aku lulus kuliah dan memutuskan pulang ke Solo saja sambil melamar pekerjaan. Tapi mungkin memang sudah namanya rejeki, baru 9 bulan dirumah aku harus kembali lagi ke Jogja. Karena aku diterima bekerja sebagai pegawai di salah satu bank swasta ternama di kota kenangan itu. 

Sangat tidak mudah melewati 4 tahun dengan sisa-sisa kenanganku bersama Gilang. Mana satu kampus, kos-kosan dekat, bukan tak jarang kami sering berpapasan maupun bertemu dalam satu  tempat makan atau wartel dan warnet. Meski begitu singkat, namun hari-hari bersamanya sungguh berkesan, dia benar-benar sosok yang aku dambakan untuk menjadi pendamping hidupku. Dia sangat berarti. Sampai-sampai aku sempat jatuh sakit. Selama 2 minggu gak bisa makan nasi. Panas demam, seluruh rongga mulut penuh sariawan. Minum air putih pun perihnya bukan main. Akhirnya badanku yang udah kurus begeng begini tambah tipis aja kaya peragawati, hmmm.. Sedih... Kata dokter aku terlalu banyak pikiran. Stress lah bahasa gaulnya. 

Benar-benar aku gak sanggup melupakan Gilang dari ingatanku. Namanya sudah terlanjur melekat terukir di salah satu sudut hatiku, sulit digantikan dengan yang lain. Lagi-lagi aku menitikkan air mata disaat aku teringat wajah manis bermata minus itu. Dimana dia berada ya Tuhan? Lindungilah dia, pertemukanlah kami kembali jika dia memang jodohku ya Tuhan... 

Jogja, 12 Agustus 2004
Kantor
Akhirnya selesai juga masa training ku sebagai pegawai bank. Hari ini aku resmi memakai seragam, blouse putih, blazer biru dan rok sepan biru. Aku suka seragam ini. Yaaa betul, because it's blue hahaha... Kata temen-temen Rana yang sekarang kelihatan feminin, sudah gak kaku lagi ketika pakai rok, bisa dandan, dan high heels adalah sepatu wajibku selama bertugas. Meski berangkat dan pulang kerja tetap saja sneakers yang setia menemaniku. Rambutpun mulai aku perhatikan agar tetap lurus dan hitam mengkilat, namun tetap tidak melebihi bahu. Itulah tuntutan profesiku setelah memasuki dunia pekerjaan.

Disela-sela kesibukanku yang saat itu bertugas di bagian customer service, setelah melayani seorang pelanggan tiba-tiba mataku tertuju pada sosok yang sangat aku kenal. Ya! Aku kenal sekali!
'Astaga! Gilang?' Pekikku dalam hati. Tapi matanya melihat ke arah lain, dia tidak melihatku. Mendadak jantungku berdegup kencang.. *seperti genderang mau perang*
Sambil berusaha menenangkan diri agar aku tetap stabil tidak cemas dan tidak gugup, aku mencoba tarik nafas dalam-dalam dari hidung, buang nafas dari mulut.. Tarik nafas panjang sekali lagi, buang... 'That's enough, Rana!' Antara pengen banget dia melihatku, tapi bingung juga apa yang akan kulakukan jika kami benar-benar bertatap muka?? Oooohh tidaaakk!! Pasti mukaku jelek sekali waktu itu.. *tepok jidat*
'Ok. Sudah. Tenanglah, Rana! Kembali bekerja!' Aku sibuk menenangkan diriku sendiri.

Kemudian kutekan tombol untuk memanggil pelanggan selanjutnya.
Ya Tuhan! Aku nampak Gilang beranjak dari kursinya berjalan menuju ke arahku. Aku mulai berdiri untuk menyambutnya, menjabat tangannya dan mempersilahkannya duduk. Begitu cara kami untuk melayani pelanggan. 

Dua langkah sebelum sampai di kursi yg berada didepan mejaku, Gilang baru menyadari kalo ini aku. Dan setelah dia melirik ke name tag yang kupasang di kerah blazerku, tertulis Rianti Amaranggana, baru dia tersenyum lebar. Dia tampak heran dan sedikit terkejut melihatku berpenampilan seperti ini. 
"Gilang.. Apa kabar sekarang?" Tanyaku sambil menjabat tangannya. Dia meraih tanganku. Kami berjabat tangan begitu erat, seperti mengalir kembali butiran-butiran asmara dalam darah kami yang dulu sempat mengendap. 
"Baik, baik. Kamu pakabar Rana?" Jawab Gilang dengan senyum manisnya yang sudah lama aku tak melihatnya. 
"Silahkan duduk.."
"Oya. Makasih..."

Gilang datang untuk mengurus kartu ATM nya yang hilang tadi pagi. Dompetnya jatuh entah dimana, semua kartu-kartu hilang. 
Aku sempat meminta nomor HP Gilang untuk keperluan informasi database. 

"Ok, Gilang.. Nanti aku telfon kalo ATM nya udah jadi ya." 
"Ok.. Sms juga boleh. Kalo gitu aku pamit ya? Nanti kabarin aja, Rana. Makasih ya.."
Kemudian kami sama-sama berdiri, salaman lagi, dia membalikkan badan berjalan menuju pintu keluar. Dan aku... Kembali duduk sejenak, menghela nafas panjang lagi, kemudian minta ijin mbak Retno, senior aku, untuk ke toilet sebentar. 

***

Aku memakudiri didepan kaca toilet perempuan di kantor, untung sepi. Aku memandangi wajahku sendiri sambil senyum-senyum. Pipiku merona, tapi aku yakin ini bukan karena blush-on yang ketebelan, bukan.. Aku pegang-pegang tangan kananku bekas salaman sama Gilang tadi. Yaa ampuuuun Rana...
Woiy sadar wooy!!
Aku coba menampar pipiku sendiri dan "Aaww! Sakit.." Ternyata ini bukan mimpi. 'Ini kenyataan! Kenyataannya aku bertemu Gilang... Setelah sekian lama. Ya Tuhanku...' Teriakku dalam hati sambil sedikit melompat-lompat kegirangan, sesekali mataku melirik kearah pintu siapa tau tiba-tiba ada orang masuk, malu lah aku.. 

Aku bener-bener gak nyangka, Gilang masih ada di Jogja. Hari itu aku bener-bener seperti habis dapet undian berhadiah mobil, bahagia sekali, sebahagia 4 tahun yang lalu ketika dia menyatakan cintanya padaku. Sumpah, jadi pengen ketawa terus aku saat itu. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur dalam hati bahwa Tuhan telah mempertemukan aku kembali dengan cinta pertamaku. 

Ya, dia cinta pertamaku... Kata orang, cinta pertama itu kenangannya begitu melekat didada, tak terlupakan. Dia memang bukan yang pertama tapi dialah orang yang berhasil mencuri hatiku lebih daripada yang lain. Gilang adalah cowok ketiga yang pernah menjadi kekasihku. Dan dialah satu-satunya kekasih diantara yang sebelum-sebelumnya yang sangat sopan dan bertanggung jawab, satu-satunya kekasih yang menjaga sekali perasaanku. Lelaki yang tau benar bagaimana memperlakukan wanita seperti layaknya seorang Putri. Mataku pun mulai berkaca-kaca, lalu kucabut tissue dari kotaknya disebelah vas bunga depan kaca. Kutahan air mata ini agar jangan sampai menetes mengingat wajahku yang masih penuh dengan make-up.

Kulihat Gilang yang sekarang lebih dewasa dari Gilang yang dulu kukenal. Dengan kemeja kotak-kotak kombinasi warna coklat dan krem nya tadi membuat dia kelihatan lebih keren, ditambah rambut potongan cepak ala Keanu Reeves juga kacamatanya yang masih awet dan badan yang sedikit berisi dibanding jaman kuliah dulu. Ternyata setelah lulus S1 nya yang hanya selang satu periode setelah aku lulus, Gilang melanjutkan kuliah S2 nya di kampus yang berbeda dengan kampus kami dulu. 

***

10 menit sudah aku didalam toilet hanya untuk melamun dan membiarkan anganku membawaku ke masa silam... 'Waduh, aku harus segera kembali ke mejaku, kalo tidak nanti mbak Retno bisa 'nyanyi' tanpa mic nih, hihihi...' 

*** 

Jam di kantor menunjukkan pukul 4.45 tandanya 15 menit lagi karyawan boleh pulang. Tak lama HP ku berbunyi. Aku ambil dari dalam tasku dan kulihat nama Adi tertera dalam layar HP ku. 
"Yaa.." Kutekan tombol hijau di keypad telpon genggam ku sambil merapikan meja kerjaku. 
"Yang, aku udah dibawah ya.."
"Iya Di, tunggu bentar yaa..!"
"Ok, daaah!" 

Ya. Dialah Adi, cowokku saat itu. Kami baru 6 bulan pacaran. Cowok keturunan Cina-Banjar-Bugis tapi sudah menetap di Jogja bersama orangtuanya sejak tahun 1997. Adi adalah calon dokter gigi yang sedang menyelesaikan profesinya di salah satu universitas negri di Jogja.

Kebetulan waktu itu Adi lagi free jadi dia menjemputku di kantor kemudian kami mampir ke warung makan dulu sebelum dia mengantarku pulang ke kos. Aku biasa makan malam awal, pulang kerja langsung makan karena males banget keluar lagi malamnya kadang udah capek.
Setelah keluar kantor melalui pintu karyawan di bagian belakang gedung, kulihat Adi sudah menunggu diluar gerbang dibawah pohon asem, sambil duduk diatas motor Tiger birunya.
"Eh, lama ya nunggunya? Sorry yaah.." Sapaku pada Adi sambil mengambil helm yang dia sodorkan. 
"Gak kok.. Yuk! Mau makan dimana?" Tanyanya. 
"Mana ajalah, terserah kamu.." Jawabku pasrah habis gak ada ide. Yang ada dalam otakku cuma bayangan wajah Gilang tadi. 'Ooooohh tidaaaakkk!! Ya Tuhan tolong aku supaya aku bisa bersikap biasa aja didepan Adi... Please!!' "Ya udah, tempat biasa aja yaa?"
"Boleh." 


Jogja, 14 Agustus 2004
Kamar Kos
Mumpung weekend Sabtu pagi aku bangun sengaja lebih siang. Semalam aku membongkar lagi harta karun usang yang masih aku simpan di dalam kotak kecil berbahan kertas daur ulang. Didalamnya ada sebuah buku diary berukuran kecil berwarna biru muda bergambar kupu-kupu. 

Kubuka perlahan lembar demi lembar. Sesekali kubaca ulang setiap detail tulisan, kadang aku terhanyut dalam cerita sedih yang aku tulis, kadang jadi ketawa cekikikan baca yang konyol dan lucu. Sampai-sampai malu sendiri membayangkan polah tingkahku di masa-masa jadi mahasiswa... Tapi aku menikmatinya. Serasa mesin waktu membawaku ke sebuah generasi dimana anak mudanya sangat memegang teguh prinsip "makan gak makan asal ngumpul" hmmmm... 

***

Tiba-tiba aku menemukan sebuah kertas kusut yang dilipat disela-sela halaman buku diary ku. Ya, itu surat dari Gilang yang pernah aku remas dan hampir aku sobek-sobek. Tapi aku urungkan dan kuputuskan untuk menyimpannya saja dengan baik. Ah, lagi-lagi anganku melayang menuju sebuah rumah bercat hijau muda yang cukup besar dan tingkat didalam komplek itu... 


....... Akhirnya sepulang dari kuliah jam pertama aku memberanikan diriku untuk menemui Gilang di kos nya. Tepatnya 2 hari setelah aku terima surat darinya. 
"Jujur aja ya, aku sempet mau berantem sama orang itu. Hampir aku tonjok mukanya!" Kata Gilang begitu emosi waktu itu. 
"Iya, tapi siapa orang itu? Temen kamu? Atau temen aku?" Tanyaku penuh keingintahuan. 
"Sorry.. Aku gak bisa bilang, Rana.. Ini gak ada hubungannya sama kamu. Sudahlah, kamu gak seharusnya terlibat dalam masalahku. Aku sekarang ini bener-bener minta pengertian kamu, aku mau sendiri dulu.." Tuturnya dengan pandangan kosong muka kusut menerawang entah kemana, bukan ke arahku. 
Aku mulai gak bisa menahan air mataku. 
"Aku gak ngerti apa yang ada di pikiranmu Gilang. Kamu tega!" Suaraku mulai bergetar. Lalu aku membalikkan badanku sambil mengusap setetes air mata yang terlanjur jatuh dipipiku. Kuambil tas Sophie Martin biru andalanku dari atas tempat tidur Gilang, juga 3 bundel makalah yang baru aku pinjam dari perpustakaan, dan pulang. Tanpa aku bisa berkata-kata lagi. Padahal aku berharap Gilang mengejarku dan menahanku untuk tidak pergi dari sana waktu itu. Tapi harapanku sirna...

Aku mempercepat langkahku agar segera sampai di kos. Kubuka pintu kamar lalu kututup setengah kubanting, kunyalakan radio dengan volume besar.

Saat itu di Jogja ada radio baru yang hanya memutar lagu-lagu saja. Belum ada iklan, belum ada berita, belum ada penyiar radio yang cuap-cuap. 24 jam non stop hanya memutar lagu-lagu saja. 101,7FM Jogja yang memiliki motto 'The soundtrack of your life' sedang memutar  lagu yang dibawakan Melly Goeslaw featuring Ari Lasso, Jika. Kemudian disusul oleh Katon Bagaskara yang muncul dengan tembang yang selalu berhasil membawa perasaan pendengarnya, Lara Hati, yang ia alunkan indah bersama Melly Goeslaw. 4 menit berikutnya lagu Separuh Nafas nya Dewa membuatku ikut bernyanyi, berteriak sih lebih tepatnya.. Terakhir, Dygta grup band baru yang langsung melejit dengan lagu andalannya KKSK (Karna Ku Sayang Kamu) berhasil melengkapi kesedihanku sore itu.

Whuaaaaaa... Makin jadi aja nih air mata meluap tak terbendung.
"Yes, you're rite! This is the soundtrack of my life..." *ngomong sama radio*
Tak terasa akupun tertidur lelap memeluk guling. Habis sudah rasanya stok air mataku hari itu... Hati menangis namun mata terasa kering. 

***

Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengalir hangat di pipiku. Tak terasa air mataku meleleh lagi. Segala andai-andai bermunculan dipikiranku, seandainya saja dulu dia terus terang padaku, seandainya aku dulu bisa lebih memahami perasaannya.. Seandainya dia tidak egois, dan aku tidak emosi waktu itu.. Aah, tapi semua ini tak ada gunanya. Terlambat sudah, nasi sudah menjadi bubur. Atau mungkin memang sudah begini jalanku? Mungkin ada hikmah dibalik semua ini?

Bertahun-tahun berlalu aku tetap tidak berhasil melupakan sosok laki-laki sesempurna Gilang, sempurna dimataku. Walaupun kini aku sedang berusaha membuka hatiku untuk menerima cinta yang lain, namun tetap tempat Gilang dihatiku tak tergantikan. 


Jogja, 18 Agustus 2004
Kamar Kos
Hari ini Adi tidak menjemputku, dia ada kuliah sampai sore. Jadi aku pulang jalan kaki, karena kos ku hanya berjarak sekitar 500 meter dari kantor. Sesampainya di kamar, aku diam sebentar sambil mikir, 'Hmmm..Siapa ya yang tadi jawab telponnya?' 
Sekitar jam 12 siang, menggunakan telpon genggamku kutekan 11 digit nomor HP yang Gilang tulis di form permintaan membuat kartu baru beberapa waktu lalu. Sengaja aku tak mau pakai telpon kantor, rada modus siih.. Qiqiqi boleh ya? Dan, seorang perempuan yang menjawab.
"Selamat siang.. Mmm, bisa bicara dengan Bapak Gilang?" Aku jadi pura-pura agak sopan setelah mendengar suara perempuan diseberang sana.
"Oooh A' Gilang nya lagi di kamar mandi. Ini dari mana ya?" Jawab perempuan berlogat Sunda itu. 
"Oh begitu, cuma mau memberi tahu kalo kartu ATM Bapak Gilang sudah bisa diambil besok pagi, Ibu." Ku atur suara yang paling manis sebagai customer service. 
"Oh iya, nanti saya sampaikan. Maaf ini dengan siapa ya?" Tanya perempuan bersuara lembut itu. 
"Dengan Rana, Ibu.. Terimakasih kalo begitu, selamat siang." 
Fiuh!! 

Kuraih remote TV kupilah-pilih channel tapi acaranya bikin males semua. Oh iya, jadi ingat kemaren dipinjemin VCD nya Kiamat Sudah Dekat sama mbak Retno belom aku tonton. Lalu kuambil remote VCD player diatas TV 14" yang kubeli dengan gaji pertamaku. VCD kumasukkan ke tempatnya lalu mulailah adegan demi adegan filem religius yang dikemas secara romantis tapi lucu itu. 1 jam pertama masih konsen sama jalan ceritanya. Selebihnya pikiranku mulai bercabang. Mulailah berkhayal dan kembali mengingat-ingat masa sedih kala itu. Lebih-lebih waktu adegan dimana Sarah mengirimkan surat untuk Fandy. Dalam suratnya Sarah memohon dengan sangat agar Fandy segera menemukan ilmu ikhlas sebagai syarat yang diberikan oleh ayah Sarah, untuk bisa menikahi gadis pujaannya itu. Aku gak bisa lagi membendung air mata ini, berkali-kali aku menyekanya dengan tissue. Entah sudah berapa lembar tissue yang memenuhi tempat sampah di kamarku. Antara terbawa suasana dalam adegan filem dan teringat masa lalu...

Yah... 'Aku mohon dengan sangat'... 
Akupun terinspirasi oleh doa dalam film itu. Hampir disetiap sujudku kupanjatkan doa untuk Gilang 'Yaa Tuhan, aku mohon dengan sangat, jika memang dia jodoh hamba, dekatkanlah kami. Tapi jika dia bukan jodoh hamba, maka jauhkanlah dan mudahkanlah hamba untuk melupakan dirinya yaa Tuhan.. Aku mohon dengan sangat."

***

Beep.. Beep.. HP ku berkedip tanda pesan masuk. Kulempar entah tissue yang keberapa kedalam tong sampah, namun meleset. Kuraih HP dari atas meja dan kubuka 1 pesan masuk tersebut. 

[Hey! Ini nmr km ya Rana? Ini aq, Gilang :) ATM udh jd ya? Bsk aq ksna ya, km ada dsn kan? Bls.]

Model nulis pesan singkat pada waktu itu memang begitu. Kode 'bls' maksudnya balas, si pengirim minta balasan dari penerimanya. Ngetiknya jg disingkat-singkat untuk menghemat pulsa. Padahal kalo dilihat dari nomornya kami menggunakan provider yang sama, biasanya satu provider kirim SMS gratis, tapi udah kebiasaan nulisnya begitu kali yaa..
Kemudian dengan semangat 45 aku membalas SMSnya. 

Aku :
[Hi, Gilang! Iy ini ak. Td ak nelp k hpmu hayo siapa yg angkat? Ce mu y? :p Bsk ada, dtg aja. Ak tggu y!]

Gilang :
[iya, ini lg ada kel dr ce aq dtg jd rame td di kontrakan. Kl gt smp bsk y rana.]

Aku :
[Oooooh... Ok smp ktm bsk.]

Gilang :
[Met mlm Rana, met bobo y!]

Astaga!! SMS nyaaaa... Dan aku hanya bilang makasih tanpa embel-embel di terakhir SMS ku pada waktu itu. Hatiku sangaaaaatt kacau.. *tepok jidat lagi*

Tapiii... Tadi dia bilang bahwa yang angkat telfon dariku itu pacarnya.. Hmmm, yah pupuslah harapanku..


Jogja, 19 Agustus 2004
Kantor
Sampai pukul 12.00 siang aku tunggu si Gilang belom juga datang untuk mengambil kartu ATM nya. Waktunya istirahat aku keluar pergi makan bersama mbak Siska salah satu senior juga di kantorku, orang-orang bilang kami anak kembar karena mirip. Kerjaan aku pasrahkan ke mbak Retno, yang saat itu masih melayani customer. Dia menyuruhku istirahat duluan, baru setelah aku kembali gantian dia yang istirahat nanti 1 jam kemudian. 

Intro soundtrack filem Eiffel I'm in Love milik Melly Goeslaw featuring Jimmo, Pujaanku, mengalun dari speaker HP ku. Dan kulihat nama Gilang Sutomo muncul di layar HP gendutku. 
"Hallo, Gilang.."
"Rana, udah aku ambil nih barusan ATM nya kata temenmu kamu lagi istirahat ya?" Tutur Gilang dari seberang sana.
"Oooh iya, gak papa Gilang. Hati-hati, jangan ilang lagi yaa.." Pesanku sok bijak. 
"Hehe iya.. Makasih ya! Udah dulu ya, kamu makan dulu biar ndut, hehe.. Aku balik dulu, nanti SMS an lagi ya.." Katanya sambil ketawa renyah. Kriukk!
"Hahaha aseeemm! Ok, hati-hati dijalan yaa.. Daaah!" Kataku setulus hatiku... 

Ternyata beberapa menit setelah kutinggal makan siang, Gilang datang. Akhirnya mbak Retno yang menguruskan ATM Gilang. 'Yah, gak ketemu deeehh..!' *nyesel*


Kamar Kos
Seperti malam-malam kemarin, sejak aku ketemu lagi dengan Gilang, selalu hanya sosoknya yang menari-nari di kepalaku. 
Nah! Tapi... Kenapa kata-katanya begitu yaaa? Gregetan iiihh rasanya.. 
'Apa sih maksudnya coba? Awas Rana, ini godaan!' Aku berkata pada diriku sendiri. 
'Kamu kan udah ada Adi, Gilang juga udah punya cewek. Apalagi? Sudah, hubungan kalian itu sudah selesai!' 
Tidak! Di lubuk hatiku yang paling dalam mengatakan sebaliknya. Bagiku hubungan kami masih menggantung tidak ada alasan yang jelas ketika itu. Aku yakin masih ada aku dihatinya. Akupun gak bisa bohong pada diriku sendiri bahwa sampai detik ini aku masih mencintainya. Dan sejujurnya, aku masih mengharapkan dia kembali.. 

***

Belakangan aku tau dari Harris, bahwa ternyata orang yang hampir ditonjok itu adalah bapaknya sendiri. Seperti yang aku tau Gilang adalah anak dari keluarga brokenhome. Dia begitu marah ketika mengetahui bahwa bapaknya memutuskan akan bercerai untuk yang kedua kalinya dan akan menikah lagi dengan perempuan lain. Gilang tidak bisa menerima keputusan bapaknya itu. Banyak alasannya. Makanya dia kacau sekali. Akupun menyesal kenapa baru sekarang mengetahui semuanya.. Seandainya saja pada waktu itu dia mengatakan yang sejujurnya, mungkin aku bisa lebih mengerti perasaannya. 

Ingin rasanya aku teriak sekencang-kencangnya, sambil berlari mencari Gilang kemudian memeluknya seeee erat-eratnya... Dan meminta maaf atas sikapku yang kekanak-kanakan saat itu, yang tidak mau mengerti betapa sulitnya ada di posisi dia dan justru malah menambah berat masalahnya.. Segala kemungkinan berkecamuk diotakku. 
Lagi-lagi air mataku pun membasahi bantal tempatku bersandar pada malam hari yang gerimis itu. 

(Bersambung ke Bagian 3)