Monday 8 February 2016

Romantika Gilang dan Rana Bagian 3 (TAMAT)

Jogja, 24 September 2004
Kantor
Tadi siang tiba-tiba badanku meriang, pusing kepala, panas demam, sampai menggigil kedinginan. Lalu Bu Ida, supervisor ku menyuruhku pulang awal saja supaya bisa istirahat. Tapi sebelumnya aku sempat dikeroki dan diurut-urut sama mbak Siska, juga dibuatkan teh panas. Setelah setengah jam tiduran di ruang kesehatan dan agak mendingan, aku pulang minta jemput Adi.

Tapi sebelumnya Adi menemaniku kerumah dr. Gunawan, teman dekat bapakku yang sudah seperti saudara dan menjadi dokter langganan keluarga kami. Dia memaksaku untuk cek ke dokter, supaya dapat obat dan bisa tidur nyenyak. Setelah diperiksa tekanan darah, suhu badan dan tenggorokan juga mata kemudian dr. Gunawan menuliskan resep. Aku diberi obat penurun panas dan antibiotik. Kata dokter hanya radang tenggorokan.  
Tapi aku diberinya juga surat untuk istirahat 2 hari, dikarenakan penyebabnya adalah kecapekan. Ya, memang 2 hari yang lalu aku baru pulang dari Semarang, ada acara kantor dan langsung disambut kerjaan yang menumpuk. 

"Tuh kan, aku udah sering bilang, jangan lupa makan. Tidur juga jangan malem-malem.. Jam 10 paling telat udah harus tidur, kan paginya kamu kerja seharian. Pulang-pulang capek kadang masih harus ngerjain yang lain, cuci baju lah, nggosok lah, masak.. Coba! Kan? Orang kerja itu lebih capek lho daripada kuliah." Cerocos Adi sambil nyubit pipi kananku begitu kami masuk ke sebuah mobil sedan milik ayah Adi, sepulang dari rumah dr. Gunawan. 
Aku hanya terdiam lemas, puyeng, denger omelan Adi sepanjang jalan. 
"Yaaa ya.." Kemudian jawabku lirih. 

***
Sesampainya didepan rumah ibu kos, Adi keluar dari mobilnya tanpa mematikan mesin kemudian berjalan memutar dan membukakan pintu untukku. Mengusap-usap kepalaku dan menyuruhku segera masuk dan istirahat. Kemudian dia langsung pulang. 

Kamar kosku terletak dibelakang rumah induk. Jadi semua anak kos ataupun tamu harus melewati halaman rumah ibu kos dulu sebelum memasuki kamar-kamar mereka, tapi ada pintu khusus menuju kesana. 

Kamar Kos
Beep.. Beep..
'Ah, aku lupa mematikan HPku..' Kataku dalam hati. SMS masuk disaat mataku hampir terpejam. Kubuka saja pesan masuk daripada penasaran. Baru setelah itu akan ku non-aktifkan. 

Gilang :
['Hey Rana! Pakabar? Sorry ggu, lg krj pa lg istrht?']

Aku :
['Gilang.. Ak lg dikosan, td blk cpt. Sakit :) ada apa Gilang?']

Gilang :
['Oh skt apa? Byk minum non, istrht. Aq jenguk y? Dmn kosan km?']

'Waduh?!' Gumamku dalam hati..
'Serius dia mau kesini?'
Mendadak badanku rada enakan. Sakit kepalaku sembuh seketika. Entah gara-gara obat yang mana nih... Hmmm.. Lama aku berfikir, bingung harus kujawab apa. 

10 menit kemudian...
Aku :
['Km mo ksini bnran? Ntar ada yg mrh? Udh gpp, ak gpp kok cm kecapekan n bth istrht aj..']

Gilang :
['Y udh kl gt kpn2 qt ktm y Rana.. Jgn lp byk mkn buah. Ok? Met istrht. Cpt smbh y..']

Nyesss rasanya baca sms dari Gilang... Sumpah, langsung seger lagi ini badan. Apa arti semuanya ini ya Tuhan? Duuuhh.. Berselingkuhkah aku? Menduakah aku? Bagaimana dengan Adi?
'Mengapa kamu hadir disaat aku sudah bersama orang lain, Gilaaaaang??' Kuhujamkan kepalan tanganku ke guling disampingku, gemes!  


Jogja, 25 September 2004

Hari ini adalah hari ulang tahun Gilang. Aku masih ingat betul, 4 tahun yang lalu aku mengirimkan hadiah untuknya. Sekotak cake berdiameter agak kecil dan kado berisi kaset album grup favoritnya, The Beatles. Harganya Rp. 40.000 cukup mahal pada waktu itu. Aku termasuk orang yang mau membayar berapapun untuk kuberikan pada orang yang kusayang. Tapi tetep melihat kemampuan juga sih. Yang kubeli waktu itu adalah album kumpulan lagu-lagu terbaik The Beatles. Dan gak hanya satu kaset tapi satu paket berisi dua kaset, didalamnya mungkin ada sekitar 30-an lagu. Aku pilih kaset itu karena kami sama-sama penyuka lagu-lagu lawas, terutama lagu I Will dari The Beatles, salah satu lagu kenanganku dan Gilang. 

***

Masih dalam rangka memanfaatkan surat keterangan sakit, di kamar ditemani ikan-ikan yang berenang kesana kemari didalam akuarium berukuran kecil, aku bingung.. SMS atau gak ya? Ngucapin gak ya? Ah, akhirnya kuberanikan diriku untuk memulai menghubunginya lagi. Pertama-tama aku kirim MMS, yaitu pesan bergambar kue tart bertuliskan 'Happy Birthday To You' kemudian gambar kartun mickey mouse meniup lilin-lilin yang tertancap diatas kue tersebut, lalu disusul gambar kartun minnie mouse datang dan mencium si mickey... Hihihi lucu yah!

Langsung dijawab oleh Gilang...
Gilang :
['He3x.. Mksh Rana. Km msh inget ya ultahku?']

Aku :
['Inget dong :) msa lupa. met ultah y.. Smg pjg umur, sehat n sukses sll. Amin3.']

Gilang :
['Amin, tq y! Gmn udh enakan blm? Udh mnm obat? Rana, km skrg makin lucu ya.. ;p']

Oh mai gat!! Kata-kata itu lagi yang terucap darinya.. 'Rana, kamu sekarang makin lucu ya..' Ya Tuhan, skenario apalagi yang akan kau torehkan?

Aku :
['Yeee.. Km ah. Udh mendingan, tp msh hrs diabisin obatnya. Bosen nih dikos mulu :(']

Gilang :
[Nti mlm qta jln yuk, mw g? Eh, km ntar ada yg mrh g kl aq ajak jln? Hayo..']

Terperanjat aku dibuatnya, dari yang tadinya tiduran santai diatas kasur langsung terbangun posisi duduk sambil membelalakkan mataku, kubaca sekali lagi SMS dari Gilang. 
'Ini beneran? Dia ngajak jalan?'
Kuambil bantal lalu kubenamkan wajahku diatasnya kemudian teriak sekencang-kencangnya.. 
'Gilaaaaaaaaang..!!'

***

Waktu menunjukkan jam 3 sore, aku baru bangun dari tidur siang. Kuambil HP disamping tempat tidurku, ternyata ada 2 pesan masuk, satu dari Gilang, satu lagi dari Adi. Dan 3 kali missed call dari Adi. 

Gilang :
['Gmn, bs g? Kok g dibls smsku? Tdr ya? Kbrn y, aq tggu..']

Aku :
['Iy sorry Gilang ak ktdrn td, hehe.. Nti ak kbrn y, ak mw mandi dl.']

Aku sibuk memikirkan gimana caranya biar bisa jalan sama Gilang, tapi Adi jangan sampai tau. Aku sebetulnya pengen banget ketemu Gilang. Tapi gimana perasaan Adi kalo tau aku jalan sama cowok lain? Mantan pacar pula.. Duuuh Andilau deh... Antara dilema dan galau *tepok jidat dua kali* 

Aku coba menelpon Adi...
"Hallo sayang, bangun tidur ya?" Sapanya dari ujung sana. Adi selalu memanggilku dengan sebutan sayang, padahal aku sekalipun tak pernah memanggilnya sayang, kecuali kalo disuruh. Duh! Parah ya? 
"Iya Di, sorry tadi tidur, gak denger bunyi HP.." Jawabku dengan suara masih agak parau. 
"Iya, gak papa emang kamu harus banyak istirahat. Gimana udah sehat? Makan malam nanti gimana? Mau aku beliin gak? Makan di kosan aja.. Ntar aku mampir bentar jam 5 an ya?" Kata Adi bersemangat. Dia memang seorang cowok yang cerewet, rame dan agak bawel. Iya sih perhatian banget tapi kadang kesannya jadi suka ngatur. 
"Ngng.. Gak usahlah Di. Aku ntar nitip anak kos aja.." Sanggahku rada cemas. 
"Nitip siapa.. Ini malem minggu lho, yang ada mereka pasti pada keluar dan pulangnya malem. Telat dong nanti makan nya klo kamu nitip mereka? Udah, nanti aku aja yang beliin.. Udah dulu ya.. Jam 5 ya sayang!" Katanya panjang kali lebar..
"Oke deh.. Daaaah!" Jawabku singkat. 

Dari awal aku kenal Adi tidak ada sedikitpun rasa tertarik apalagi suka. Kami bertemu lantaran dikenalkan seorang teman kampusku dulu, Dayu namanya. Adi itu teman main Dayu, dan sebetulnya waktu itu Dayu menyimpan rasa pada Adi. Tapi Adi sepertinya tidak menanggapi, dia lebih intens mendekati aku. Aku pada posisi yang sulit saat itu. Apalagi ketika Adi menyatakan perasaannya padaku. Aku benar-benar dilema, aku minta waktu untuk berfikir sebelum aku memutuskan menerima atau tidak. 

Pada dasarnya Adi itu baik hatinya, tapi sebenarnya alasan terkuat untukku menolaknya adalah... Klise memang, aku masih belum bisa melupakan masa lalu ku. Aku masih menaruh harapan pada Gilang. Aku masih mencintai Gilang. Aku masih menunggu Gilang datang kembali padaku. Dan Adi jauh dari kriteria cowok impianku, yang jelas aku tidak mencintainya. Namun dukungan yang kuat dari orang tua dan teman-temanku lah yang membuatku akhirnya menerima Adi sebagai kekasihku. Diluar itu aku hanya mencoba menjalani saja berharap cinta itu datang seiring berjalannya waktu.

Dan yang paling membuatku terharu ketika Dayu memilih untuk mengalah dan merelakan jika memang akulah yang Adi pilih. 
"Ran.. Sekarang udah jelas Adi lebih memilih kamu. Terimalah! Kamu jangan mikirin orang lain, jangan mikirin aku.. Aku gak papa, mungkin memang dia bukan untukku. Sekarang waktunya kamu temukan kebahagiaanmu! Bertahun-tahun buat apa kamu menunggu orang yang gak jelas juntrungannya? Jangan bodoh Rana..." Kata Dayu saat itu dengan nada tinggi namun sesekali suaranya terdengar terbata-bata.
"Ya tapi... Day.." Mataku mulai berkaca-kaca. Lalu kuraih bahu Dayu dan kamipun berpelukan dalam isak tangis berdua. 

***

Jam 5 kurang 5 menit, bel kos-kosan berbunyi. Adi datang membawakanku sebungkus nasi padang dan minuman jeruk panas yang dibungkus plastik. Dari dalam kamar aku membawa keluar 2 piring dan 2 gelas untuk makan aku dan Adi. 

Kosku yang sekarang kos kosan putri yang ketat dengan peraturan. Ada waktu berkunjung dan jam 10 malam pintu pagar mulai dikunci. Tamu putra dilarang masuk kamar. Tersedia satu ruang tamu dan satu ruang makan terbuka yang bisa kami gunakan untuk menerima tamu. Kami hanya bertujuh dan antara kamar-kamar kos dan rumah induk hanya dipisahkan oleh taman seluas kira-kira 6x8 meter persegi. Jadi siapa yang keluar masuk tetap terawasi oleh yang punya kos. 

"Hai sayang, udah seger tuh gak pucat lagi kok.." Sapa Adi begitu aku datang sambil mencium keningku. 
"Yaah.. Mendingan lah, tidur mulu.. Yuk makan, ntar keburu malem, kamu ikut makan juga kan? " Tanyaku ingin memastikan.
"Iya nih aku beli dua bungkus.." Katanya sambil membuka bungkusan nasi dan ditaruhnya diatas piring. 

Setelah selesai makan Adi pamit pulang, dia harus sampai dirumah sebelum maghrib karena ayah ibunya mau pergi kondangan. Adi harus jaga rumah. 
"Aku gak bisa lama-lama nih, Yang.." Katanya. 
"Iya gapapa, Di.. Tenang aja aku juga pengen istirahat aja di kos.." Kataku terpaksa berbohong.. Padahal kan Gilang mau ngajak keluar. 
"Ok deh, kamu baik-baik ya.." Diciumnya lagi keningku, lalu dia pulang. 

***

Kubereskan kertas sisa pembungkus makanan dan plastik minuman dari atas meja lalu kubuang ditempat sampah. Kemudian kuberjalan agak cepat langsung menuju kamar. Kuketik pesan di telepon genggamku dan kutekan segera tombol SEND ke nomor Gilang. 

Aku :
['Gilang, sorry br bls lg. Ak bs nih, mw jln jm brp tar mlm?']

Gilang :
['Oke! Jam 7 aq jmput gmn? Oy, kos km dmn almtny?']

Aku :
['Blh jm 7 ya.. Kosku di jl sagan no1331.']

Gilang :
['Sip, tggu aq ya!']

Yes!! Akupun senyum sumringah didepan kaca meja rias di kamarku.

***

Eh, kok aku deg-degan ya? Sebentar lagi jarum jam mengarah ke angka 7. Aku sudah siap dengan celana jeans biru dongker, t-shirt hitam lengan panjang berkerah tinggi. Cardigan warna coklat susu hanya aku jadikan shawl dipundak dan kuikat sekali bagian lengannya didepan dada. Make up tipis hanya sedikit bermain di mata, kupilih eyeshadow warna bronze yang kupadukan dengan warna coklat tua. Lalu kubingkai mataku yang agak sipit dengan liquid eyeliner warna hitam supaya keliatan agak melek dikit, hehehe... Terakhir kubaurkan perona pipi warna pink muda campur beige dan lipstik warna nude. That's all!


'Ting tong ting tong.. Assalamualaikum..'
Kudengar bel berbunyi, itu pasti Gilang tebakku. Segera aku samber tas slempang denim andalanku lalu keluar dari kamar dan kukunci pintu. Kupakai sepatu flat warna hitam berlogo huruf G kemudian setengah berlari aku menuju pintu depan. 

"Hai!" Sapa Gilang dari balik pagar. 
"Hai jugak.." Sambutku sedikit grogi. Sudah lama aku tak merasakan hatiku se-colourfull ini. 
"Tuh kan, kamu sekarang makin lucu deh!" Godanya setelah melihat penampilanku yang sangat jauh berbeda dibanding ketika mahasiswa dulu.
Hmmm! Rayuannyaaa... Dia biasa menyebutku lucu, entah kenapa? Mungkin karena aku imut seperti anak kecil.. Hehehe!
"Aaah kamu.. Yuk, mau jalan kemana kita?" Kataku mengalihkan perhatian. Sebenernya hanya supaya dia tidak terus-terusan membuatku gugup aja sih.
"Boleh gak aku nitip motorku disini, trus kita jalan aja ke mall sebelah. Kan deket.." Pintanya padaku. 
"Oke, boleh juga.. Sini biar aku aja yang masukin.." Aku menuntun sepeda motor bebek warna hitam legam ke garasi dibantu Gilang yang mendorong dari belakang. 

***

Disepanjang jalan menuju mall aku seakan-akan terbius kenangan 4 tahun silam. Disaat kami biasa berjalan berdua, bergandengan tangan, menyusuri jalanan komplek menuju warung mahasiswa itu.. Hujan-hujan satu payung berdua, dan dia suka sekali memercikkan air hujan yang jatuh dari ujung ruas-ruas payung ke mukaku, kemudian kuserang dia dengan cubitan-cubitan sayang... Plak!! Rana sadar!! 
Aku mencoba menepis bayangan indah itu. Lalu ketika kami sampai di ujung gang, tiba-tiba ada motor yang belok ke arah kami agak mepet. 
"Awas!" Kata Gilang sambil menarik lenganku. Secara spontan Gilang menarik tubuhku mendekat dan hampir aku jatuh dipelukannya (lagi)..
Kemudian kami saling bertatapan, dia canggung dan aku tersipu malu. Kamipun meneruskan langkah kami. 

***

Sesampainya di dalam mall, kami mencari restoran sekedar untuk nongkrong dan ngobrol di malam minggu. Akhirnya kami menuju ke sebuah restoran yang menyajikan masakan ala Jepang, yang letaknya cukup strategis dan tempatnya pun sangat nyaman. Kami memilih duduk di sofa dekat kaca supaya santai dan bisa melihat pemandangan diluar. Padahal juga cuma liat kendaraan-kendaraan yang lewat. Gilang memesan Dragon Balls BBQ dan Orange Juice sementara aku pilih dessert aja, Banana Chesse Cake dan Hot Japanese Tea. Maklum selain masih kenyang, tenggorokan lagi gak enak belom berani minum es. 

"Rana, kamu.. Gak ada yang marah kalo aku ajak jalan gini? Maksudku pacar kamu.." Tanya Gilang membuka percakapan. 
Sebenernya aku males membahas Adi didepan Gilang. 
"Hmm.. Gak lah!" Jawabku enteng sambil kuhirup teh yang masih panas.
"Lah, cewek kamu gimana? Gak malem mingguan? Kok malah ngajak aku jalan sih?" Sambungku dengan maksud mengalihkan pembicaraan.
"Ooh.. Itu.. Cewek aku gak disini Rana, dia kuliah di Bandung. Kemaren itu dia dateng ke acara wisuda kakaknya. Dikampus kita dulu. Waktu kamu telfon itu dia dan keluarganya lagi mampir ke kontrakan aku." Ceritanya pelan dan santai sambil menusukkan garpu ke makanannya lalu menyantapnya.
"Ooooh gitu.." Jawabku singkat. Perasaanku tak menentu. Antara sedih dan kecewa mengetahui Gilang sudah punya pacar juga bahagia karena sekarang dia ada didepan mata. Ah sudahlah, nikmati dulu saja sekarang apa yang ada. 

***

Waktu berjalan terasa begitu cepat. Tiba-tiba kumerasa ada yang bergetar dari dalam tasku. Kurogoh HP kulihat sepintas nama Adi muncul di layar HP. 
'Wah gawat nih!' Pikirku dalam hati. Kuurungkan niatku untuk menjawab panggilannya. Biarkan saja. 

"Siapa yang nelfon? Kok cuma diliatin aja?" Ternyata Gilang memperhatikan gerak-gerikku. Aku langsung salah tingkah. 
"Oh itu tadi temen.. Iya, temen kosku. Ngng.. Gapapa biarin aja klo penting nanti kan telfon lagi.." Kataku sekenanya. 
"Oooh.. Temen apa temen?" Candanya.
Hadeuh.. Mati kutu dah eyke! *tepok jidat untuk yang kesekian kali*

"Eh kita balik jam berapa, kosan kamu ada jam malemnya gak?" Lanjutnya seperti khawatir. 
"Jam 10 dikunci pagernya. Eh ya ampun, iya bentar lagi dong ini udah jam 9.40.." Jawabku sambil kulihat jam ditangan kiriku. 
"Oh iya.. Gak kerasa udah 2 jam lebih kita ngobrol disini. Yuk! Mau sekarang kita pulang?" Ajaknya. 
"Ayuk.." Kataku sambil melingkarkan tas di bahu ku kemudian mengusap mulutku dengan tissue. Gilang beranjak dari duduknya kemudian kususul dia dan kami keluar dari mall melalui pintu samping. 

***

Dalam perjalanan pulang dari mall menuju kos-kosan, kami lebih banyak terdiam. Sesekali hanya membahas apa yang kami lihat dijalan, entah rumah lah, pohon lah. Anginpun berhembus sedikit kencang membuatku melipatkan kedua tangan didadaku. Seketika itu juga Gilang meminjamkan jaketnya untuk menutupi tubuhku yang kedinginan. Menurut dia cardigan yang aku pakai terlalu tipis hingga dia melepas jaketnya kemudian menyelimutiku dengan jaket kulit yang hangat itu. Akupun terdiam menunduk menikmati jalan kampung yang sepi berdua dengan Gilang. Entah apa yang ada di benaknya kali ini aku tak mau terlalu berandai-andai. 


Jogja, 1 Desember 2004

Aku sadar sepenuhnya bahwa untuk memiliki Gilang kembali adalah hal yang tak mungkin. Posisi kami sama-sama sudah tidak sendiri lagi. Dan sampai detik ini pun tidak ada tanda-tanda serius atau kejelasan antara hubunganku dan Gilang. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa masih ada Tuhan yang bisa merubah segalanya.

Justru malah Adi yang terlihat makin serius mendekati keluargaku. Oya, dia mengajakku menikah tahun depan. Aku mulai berfikir. Aku bukan anak kecil lagi, dalam menjalani suatu hubungan tidak semestinya aku hanya main-main. Aku harus memikirkan masa depanku. Sudah ada didepan mata, laki-laki tampan, mapan, calon dokter pula, dari keluarga baik-baik... Kurang apa lagi? Gak adil rasanya kalo aku mati-matian mengharap yang tak pasti, sementara ada orang yang mau menerima aku apa adanya tapi sama sekali tak kuhiraukan. Aku gak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.

Oke, aku memutuskan untuk melebur semua kenangan-kenanganku bersama Gilang. Mungkin sudah saatnya aku mengubur semua masalaluku dan memulai hidup baru demi masa depanku. Aku bakar surat usang itu, bunga kering pemberian Gilang di hari valentine dan buku diary yang berisi kisah manis dan pahitku bersamanya. Meski sambil menahan isak tangis, aku harus melakukannya. Mungkin ini salah satunya yang membuatku tidak bisa melupakan Gilang. Aku harus menutup memori itu. Aku harus bisa! Sekarang saatnya membuka lembaran baru... 

Sayup-sayup terdengar lagu Air Mata punya Dewa dari radio di dapur ibu kos. Lengkap sudah kesedihanku sore itu...

Air mata telah jatuh membasahi bumi
Takkan sanggup menghapus gelisah
Penyesalan yang kini ada
Jadi tak berarti
Karna waktu yang bengis terus pergi

Menangislah bila harus menangis
Karena kita semua manusia

Manusia bisa terluka manusia pasti menangis
Dan manusia pun bisa mengambil hikmah

Dibalik segala duka tersimpan hikmah
Yang bisa kita petik pelajaran
Dibalik segala suka tersimpan hikmah
Yang kan mungkin bisa jadi cobaan

***

Tak lama kemudian, datanglah SMS dari Gilang...

Gilang :
['Rana, lg ngapain? Nti sore km ad acr g? Temenin aq ke gramed yuk..']

Waduh! Ujian.. Mengapa engkau selalu datang tiba-tiba? 

Aku :
['Hmm Gilang, maaf bgt y.. Kynya ak g bs, skrg ak mst ijin dl kmn2. Km ngerti kn mksd ak?']

Jujur, berat rasanya aku membalas SMS itu. Tapi semoga dengan SMSku itu Gilang mengerti maksudku. Aku sebenarnya ingin bilang 'sudah Gilang jangan hubungi aku lagi' tapi tak tega rasanya. Sekarang aku hanya bisa pasrah, kalo memang dia benar-benar menginginkan aku apapun yang terjadi dia pasti mencariku. 

Gilang :
['Iy gpp kok, aq ngrti.. Sorry yah!']


15 Bulan kemudian...
Jogja, 23 Maret 2006

Berbulan-bulan tidak ada kabar dari Gilang. Diapun tidak juga mencariku. Ternyata SMS itu adalah SMS terakhir yang dia kirimkan padaku. Kebetulan beberapa bulan yang lalu aku mengganti HP ku dengan yang baru juga nomor baru. Dan aku sengaja menghapus nomor Gilang dari phone book aku. Memang sudah niatku benar-benar menghapus jejaknya dari hidupku. Mungkin memang sudah takdirku, dia bukan jodohku. Karena keadaan ini kami jadi saling menjauh. 

***

Tak disangka, bulan demi bulan Adi malah menunjukkan sifat aslinya. Muncul ketidakcocokan dan makin banyak konflik antara kami berdua. Dia semakin posesif dan aturan-aturannya lama-lama membuatku muak dan tidak bisa bergerak bebas. Dan kamipun sering berantem, sempat putus kemudian nyambung lagi, putus lagi nyambung lagi. 
"Aku capek Di, jalan sama kamu kalo begini terus..." Kataku perlahan ketika dia datang ke kosku. 
"Kamu kenapa sih?" Sanggahnya curiga dan sedikit emosi. 
"Maaf ya.." Lanjutku, "Giliran aku yang ngomong sekarang. Aku gak bisa terus-terusan kamu atur, harus beginilah begitulah, aku udah gede Di.. Aku tau mana yang baik mana yang gak. Aku punya prinsip. Dan aku nerima kamu buat jadi pacar aku itu aku berharap kamu bisa ngelindungin aku, ngejaga aku.. Bukannya malah mengekang hidupku. Aku udah cukup sabar dan ngalah terus sama kamu selama ini.." Kataku sedikit kesel. 
"Iya, tapi kan kamu perempuan harus nurut dong sama laki-laki.." Bantahnya. 
'Huft!! Aku gak sukanya dia itu begitu deh... Sok banget! Jadi suamiku aja belom udah sok-sok an ngatur-ngatur.' Gerutuku dalam hati. 

Tapi aku mencoba untuk tidak emosi waktu itu. Seperti biasa aku tetap di posisi yang lemah. Sebetulnya aku sudah siap dengan segala resikonya kalo memang hubunganku dan Adi harus berakhir. Karena hubungan ini sudah tidak sehat, akupun jadi enggan menjalaninya. Toh aku sudah lama juga berusaha mencari solusi yang terbaik, dan jawabannya semua ada ditanganku, aku yang menjalaninya. Keluarga dan teman-temanpun sudah mengetahui duduk persoalannya, mereka mendukungku kalo aku harus mengakhiri hubunganku dengan Adi. 

Melihatku diam lalu Adi yang masih duduk disebelahku menggenggam tanganku dan berkata "Ya sudah sekarang kamu maunya gimana?"
Pelan-pelan aku melepaskan genggamannya, kemudian lirih aku berkata "Maafin aku ya Di.. Kita udahan aja deh."
"Maksud kamu?" Katanya sambil memandang serius kearahku. 
"Iya, kita putus ajalah. Aku gak bisa lagi maksain diriku harus sejalan dengan pikiran kamu.." Kataku mantap. 
"Yang, kamu yakin?" Tanya Adi. 
"Iya.." Jawabku santai kemudian senyum padanya dan kulihat dimatanya ada rasa kecewa. Akupun menunggu apa yang akan ia katakan. 
"Oke lah, kalo memang gitu mau kamu.." Jawabnya setelah terdiam beberapa saat. Terlihat dia ingin marah tapi tertahan. Lalu dia berdiri mengancingkan jaketnya rapat-rapat dan memegang bahuku sebentar kemudian pamit pulang. 

Ada rasa lega mengalir dalam tubuhku, akhirnya aku bisa melepaskan diri dari belenggu Adi. Putus pacaran bukannya sedih ini malah bahagia... Benar-benar saat itu aku seperti seekor burung yang baru saja lepas dari sangkarnya. Bebas! Mau kemana gak ada yang ngelarang. Mau beli ini itu gak ada yang protes. Plong rasanya!


Jogja, 25 Agustus 2006

Yang jelas 5 bulan semenjak putus dari Adi aku menikmati masa-masa kesendirianku. Sendiri bukan berarti gak ada teman ya.. Justru aku bisa bebas jalan dengan teman-temanku, bebas melakukan apa yang aku suka, shopping, nongkrong di cafe, karaokean, ke salon, spa, nonton dan semuanya bisa aku kerjakan tanpa ada larangan dan batasan dari seseorang. 

Hari-hari berganti, bulanpun berlalu. Begitu mudahnya aku melupakan Adi, namun tidak untuk Gilang. Masih saja bayangan itu muncul secara tiba-tiba. Entah hanya sekilas lamunan ataupun hadir dalam mimpi. Kadang aku sampai benar-benar merasa sedih dan menangis dalam kenyataannya. 

Oh tidaaaaakk.. Move on dong Rana!!!

***

Sore hari itu sangat cerah, mbak Retno, seniorku di kantor sekaligus teman curhatku mengajakku pergi berdua. Kebetulan hari itu hari ulang tahunku. Namun seperti tahun-tahun sebelumnya aku tak pernah merayakannya. Kadang hanya sekedar makan malam bersama Adi atau temanku yang lain. Kata mbak Retno dia akan menjemputku kemudian kita nonton film di bioskop. Saat itu film baru yang sedang diputar di bioskop adalah Heart. Nirina Zubir, Acha Septriasa dan Irwansyah sebagai para pemerannya. 
"Mbaaak.. Mbak Rana, dicari temennya." Suara mbak Narti dari balik pintu kamarku. Dia pembantu ibu kos, pemegang kunci pagar depan. Kalo ada anak kos yang mau pulang agak larut, bisa dilobi tuh mbak Narti. Kasih martabak kek, roti bakar kek, dia udah seneng kok. Hihihi! 
"Oh ya mbak.. Tolong bilangin tunggu bentar ya mbak, 5 menit lagi.." Jawabku tanpa kubuka pintu kamarku. 
"Yaa.." Kata mbak Narti lalu pergi. 
"Makasiiih.." Teriakku kemudian. 

5 menit kemudian aku membuka pintu kamar lalu menguncinya kembali.
Astaga!! Aku kaget bukan kepalang begitu keluar dari kamarku.. Bukan mbak Retno yang datang mencariku. Aku memperlambat langkah kakiku sambil mataku terus tertuju pada sosok laki-laki yang bersandar ditiang penyangga ruang tamu depan, membelakangiku. Aku mengenalinya, sangat mengenalinya. Masih dengan hati yang berdebar, kutelan ludah untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba mengering. Lalu kuberanikan diri menyapanya...
"Mmm.. Gi-lang?" Kataku pelan
Laki-laki itupun membalikkan badan dan...
"Hai Rana, pakabar? Nih.. Buat kamu, selamat ulang tahun yaa.." Dia menyodorkan setangkai bunga mawar merah berbalut plastik cantik dan berpita biru untukku. 
Aku menerimanya dalam keadaan bingung sebingung-bingungnya. Mataku langsung berkaca-kaca, perasaanku tak menentu, kaget, senang, sedih, bingung, takut.. Ah semuanya berkumpul jadi satu saat itu. Kemudian Gilang mendekat dan menarik tanganku perlahan, menggenggam tanganku yang masih memegang bunga darinya. Lalu dia mengambil bunga itu dan meletakkannya diatas meja disamping kami. Kemudian dia menatapku dalam, akupun terus menatap mata itu sampai tak tahan lagi meneteslah air mataku lalu kudekap dia erat. Gilang pun memelukku kemudian mencium rambutku. 
"I love you, sayang.." Bisiknya lembut di telingaku.
Sungguh aku tak bisa berkata-kata, selain menumpahkan semua rasa rinduku yang terpendam selama ini. Aku.. Ah, aku tak bisa mengungkapkan perasaanku saat itu, yang jelas aku bahagia. Setelah beberapa menit kami terbuai dalam pelukan rindu yang dalam dan masih sambil terisak aku berusaha mengatakannya.. "Aku sayang banget sama kamu Gilang...." 
"Iya Rana, aku juga sayang banget sama kamu. Maafin aku ya, dulu..." Aku buru-buru menutup mulutnya dengan jemariku. 
"Sshh, aku yang minta maaf aku gak bisa ngertiin kamu waktu itu.." 
Lalu tangannya menyentuh pipiku dan mengusap airmataku.. Kemudian perlahan dia dekatkan wajahnya ke wajahku.. Kulihat dia mulai memejamkan matanya, akupun terhanyut.. Dan akhirnya kedua bibir kami bertemu.. Kami berciuman penuh rasa rindu yang menggelora. 

Pim piiimm... 📢📢
Aseeemmm! Suara klakson mobil itu membuyarkan konsentrasi kami berdua. Gilang pun tersenyum penuh arti seperti ada yang ia sembunyikan. Lalu dia menarik tanganku mengajakku keluar dari ruang tamu menuju ke teras depan. Tak lupa aku ambil dulu bunga mawar pemberiannya tadi dari atas meja. Dan ternyata, suara klakson tersebut berasal dari mobil mbak Retno. Ternyata mbak Retno sudah menunggu lama didalam mobil. Tapi tiba-tiba kakiku tersandung pot bunga pembatas antara jalan semen dan rerumputan ditaman depan rumah ibu kos, karena Gilang menarikku terlalu bersemangat. Dan akupun jatuh tersungkur... Dari kasur... Kemudian kubuka mataku... Loh?? Wuaaaaaaa!!! Cuma mimpi.... Aku kesel.. Keseeeellll!!! 

Aku merasa mataku agak basah, ternyata aku benar-benar menangis dalam tidur siangku. Dan kuraba bibirku, bekas ciuman dengan Gilang dalam mimpi tadi, kemudian bercermin, tidak ada yang berubah... Hanya mataku saja yang terlihat sembab. 
Tapi ada perasaan lain dalam diriku. Sepertinya aku merasa lega. Mendengar pernyataannya, bahwa dia mencintaiku dan akupun mengatakan apa yang aku pendam selama ini. Walaupun dalam mimpi, akhirnya kami bertemu juga. Semoga dimanapun Gilang berada, dia selalu dalam lindungan Nya. Mungkin sekarang dia sudah menikah dengan kekasihnya, entah lah? Dan aku... Siap menjelang hari dan meraih mimpi-mimpiku. Sendiri...

(TAMAT)


Saturday 6 February 2016

Romantika Gilang dan Rana (Bagian 2)

4 Tahun kemudian...

Jogja, 28 Juni 2004

Bulan September tahun 2003 aku lulus kuliah dan memutuskan pulang ke Solo saja sambil melamar pekerjaan. Tapi mungkin memang sudah namanya rejeki, baru 9 bulan dirumah aku harus kembali lagi ke Jogja. Karena aku diterima bekerja sebagai pegawai di salah satu bank swasta ternama di kota kenangan itu. 

Sangat tidak mudah melewati 4 tahun dengan sisa-sisa kenanganku bersama Gilang. Mana satu kampus, kos-kosan dekat, bukan tak jarang kami sering berpapasan maupun bertemu dalam satu  tempat makan atau wartel dan warnet. Meski begitu singkat, namun hari-hari bersamanya sungguh berkesan, dia benar-benar sosok yang aku dambakan untuk menjadi pendamping hidupku. Dia sangat berarti. Sampai-sampai aku sempat jatuh sakit. Selama 2 minggu gak bisa makan nasi. Panas demam, seluruh rongga mulut penuh sariawan. Minum air putih pun perihnya bukan main. Akhirnya badanku yang udah kurus begeng begini tambah tipis aja kaya peragawati, hmmm.. Sedih... Kata dokter aku terlalu banyak pikiran. Stress lah bahasa gaulnya. 

Benar-benar aku gak sanggup melupakan Gilang dari ingatanku. Namanya sudah terlanjur melekat terukir di salah satu sudut hatiku, sulit digantikan dengan yang lain. Lagi-lagi aku menitikkan air mata disaat aku teringat wajah manis bermata minus itu. Dimana dia berada ya Tuhan? Lindungilah dia, pertemukanlah kami kembali jika dia memang jodohku ya Tuhan... 

Jogja, 12 Agustus 2004
Kantor
Akhirnya selesai juga masa training ku sebagai pegawai bank. Hari ini aku resmi memakai seragam, blouse putih, blazer biru dan rok sepan biru. Aku suka seragam ini. Yaaa betul, because it's blue hahaha... Kata temen-temen Rana yang sekarang kelihatan feminin, sudah gak kaku lagi ketika pakai rok, bisa dandan, dan high heels adalah sepatu wajibku selama bertugas. Meski berangkat dan pulang kerja tetap saja sneakers yang setia menemaniku. Rambutpun mulai aku perhatikan agar tetap lurus dan hitam mengkilat, namun tetap tidak melebihi bahu. Itulah tuntutan profesiku setelah memasuki dunia pekerjaan.

Disela-sela kesibukanku yang saat itu bertugas di bagian customer service, setelah melayani seorang pelanggan tiba-tiba mataku tertuju pada sosok yang sangat aku kenal. Ya! Aku kenal sekali!
'Astaga! Gilang?' Pekikku dalam hati. Tapi matanya melihat ke arah lain, dia tidak melihatku. Mendadak jantungku berdegup kencang.. *seperti genderang mau perang*
Sambil berusaha menenangkan diri agar aku tetap stabil tidak cemas dan tidak gugup, aku mencoba tarik nafas dalam-dalam dari hidung, buang nafas dari mulut.. Tarik nafas panjang sekali lagi, buang... 'That's enough, Rana!' Antara pengen banget dia melihatku, tapi bingung juga apa yang akan kulakukan jika kami benar-benar bertatap muka?? Oooohh tidaaakk!! Pasti mukaku jelek sekali waktu itu.. *tepok jidat*
'Ok. Sudah. Tenanglah, Rana! Kembali bekerja!' Aku sibuk menenangkan diriku sendiri.

Kemudian kutekan tombol untuk memanggil pelanggan selanjutnya.
Ya Tuhan! Aku nampak Gilang beranjak dari kursinya berjalan menuju ke arahku. Aku mulai berdiri untuk menyambutnya, menjabat tangannya dan mempersilahkannya duduk. Begitu cara kami untuk melayani pelanggan. 

Dua langkah sebelum sampai di kursi yg berada didepan mejaku, Gilang baru menyadari kalo ini aku. Dan setelah dia melirik ke name tag yang kupasang di kerah blazerku, tertulis Rianti Amaranggana, baru dia tersenyum lebar. Dia tampak heran dan sedikit terkejut melihatku berpenampilan seperti ini. 
"Gilang.. Apa kabar sekarang?" Tanyaku sambil menjabat tangannya. Dia meraih tanganku. Kami berjabat tangan begitu erat, seperti mengalir kembali butiran-butiran asmara dalam darah kami yang dulu sempat mengendap. 
"Baik, baik. Kamu pakabar Rana?" Jawab Gilang dengan senyum manisnya yang sudah lama aku tak melihatnya. 
"Silahkan duduk.."
"Oya. Makasih..."

Gilang datang untuk mengurus kartu ATM nya yang hilang tadi pagi. Dompetnya jatuh entah dimana, semua kartu-kartu hilang. 
Aku sempat meminta nomor HP Gilang untuk keperluan informasi database. 

"Ok, Gilang.. Nanti aku telfon kalo ATM nya udah jadi ya." 
"Ok.. Sms juga boleh. Kalo gitu aku pamit ya? Nanti kabarin aja, Rana. Makasih ya.."
Kemudian kami sama-sama berdiri, salaman lagi, dia membalikkan badan berjalan menuju pintu keluar. Dan aku... Kembali duduk sejenak, menghela nafas panjang lagi, kemudian minta ijin mbak Retno, senior aku, untuk ke toilet sebentar. 

***

Aku memakudiri didepan kaca toilet perempuan di kantor, untung sepi. Aku memandangi wajahku sendiri sambil senyum-senyum. Pipiku merona, tapi aku yakin ini bukan karena blush-on yang ketebelan, bukan.. Aku pegang-pegang tangan kananku bekas salaman sama Gilang tadi. Yaa ampuuuun Rana...
Woiy sadar wooy!!
Aku coba menampar pipiku sendiri dan "Aaww! Sakit.." Ternyata ini bukan mimpi. 'Ini kenyataan! Kenyataannya aku bertemu Gilang... Setelah sekian lama. Ya Tuhanku...' Teriakku dalam hati sambil sedikit melompat-lompat kegirangan, sesekali mataku melirik kearah pintu siapa tau tiba-tiba ada orang masuk, malu lah aku.. 

Aku bener-bener gak nyangka, Gilang masih ada di Jogja. Hari itu aku bener-bener seperti habis dapet undian berhadiah mobil, bahagia sekali, sebahagia 4 tahun yang lalu ketika dia menyatakan cintanya padaku. Sumpah, jadi pengen ketawa terus aku saat itu. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur dalam hati bahwa Tuhan telah mempertemukan aku kembali dengan cinta pertamaku. 

Ya, dia cinta pertamaku... Kata orang, cinta pertama itu kenangannya begitu melekat didada, tak terlupakan. Dia memang bukan yang pertama tapi dialah orang yang berhasil mencuri hatiku lebih daripada yang lain. Gilang adalah cowok ketiga yang pernah menjadi kekasihku. Dan dialah satu-satunya kekasih diantara yang sebelum-sebelumnya yang sangat sopan dan bertanggung jawab, satu-satunya kekasih yang menjaga sekali perasaanku. Lelaki yang tau benar bagaimana memperlakukan wanita seperti layaknya seorang Putri. Mataku pun mulai berkaca-kaca, lalu kucabut tissue dari kotaknya disebelah vas bunga depan kaca. Kutahan air mata ini agar jangan sampai menetes mengingat wajahku yang masih penuh dengan make-up.

Kulihat Gilang yang sekarang lebih dewasa dari Gilang yang dulu kukenal. Dengan kemeja kotak-kotak kombinasi warna coklat dan krem nya tadi membuat dia kelihatan lebih keren, ditambah rambut potongan cepak ala Keanu Reeves juga kacamatanya yang masih awet dan badan yang sedikit berisi dibanding jaman kuliah dulu. Ternyata setelah lulus S1 nya yang hanya selang satu periode setelah aku lulus, Gilang melanjutkan kuliah S2 nya di kampus yang berbeda dengan kampus kami dulu. 

***

10 menit sudah aku didalam toilet hanya untuk melamun dan membiarkan anganku membawaku ke masa silam... 'Waduh, aku harus segera kembali ke mejaku, kalo tidak nanti mbak Retno bisa 'nyanyi' tanpa mic nih, hihihi...' 

*** 

Jam di kantor menunjukkan pukul 4.45 tandanya 15 menit lagi karyawan boleh pulang. Tak lama HP ku berbunyi. Aku ambil dari dalam tasku dan kulihat nama Adi tertera dalam layar HP ku. 
"Yaa.." Kutekan tombol hijau di keypad telpon genggam ku sambil merapikan meja kerjaku. 
"Yang, aku udah dibawah ya.."
"Iya Di, tunggu bentar yaa..!"
"Ok, daaah!" 

Ya. Dialah Adi, cowokku saat itu. Kami baru 6 bulan pacaran. Cowok keturunan Cina-Banjar-Bugis tapi sudah menetap di Jogja bersama orangtuanya sejak tahun 1997. Adi adalah calon dokter gigi yang sedang menyelesaikan profesinya di salah satu universitas negri di Jogja.

Kebetulan waktu itu Adi lagi free jadi dia menjemputku di kantor kemudian kami mampir ke warung makan dulu sebelum dia mengantarku pulang ke kos. Aku biasa makan malam awal, pulang kerja langsung makan karena males banget keluar lagi malamnya kadang udah capek.
Setelah keluar kantor melalui pintu karyawan di bagian belakang gedung, kulihat Adi sudah menunggu diluar gerbang dibawah pohon asem, sambil duduk diatas motor Tiger birunya.
"Eh, lama ya nunggunya? Sorry yaah.." Sapaku pada Adi sambil mengambil helm yang dia sodorkan. 
"Gak kok.. Yuk! Mau makan dimana?" Tanyanya. 
"Mana ajalah, terserah kamu.." Jawabku pasrah habis gak ada ide. Yang ada dalam otakku cuma bayangan wajah Gilang tadi. 'Ooooohh tidaaaakkk!! Ya Tuhan tolong aku supaya aku bisa bersikap biasa aja didepan Adi... Please!!' "Ya udah, tempat biasa aja yaa?"
"Boleh." 


Jogja, 14 Agustus 2004
Kamar Kos
Mumpung weekend Sabtu pagi aku bangun sengaja lebih siang. Semalam aku membongkar lagi harta karun usang yang masih aku simpan di dalam kotak kecil berbahan kertas daur ulang. Didalamnya ada sebuah buku diary berukuran kecil berwarna biru muda bergambar kupu-kupu. 

Kubuka perlahan lembar demi lembar. Sesekali kubaca ulang setiap detail tulisan, kadang aku terhanyut dalam cerita sedih yang aku tulis, kadang jadi ketawa cekikikan baca yang konyol dan lucu. Sampai-sampai malu sendiri membayangkan polah tingkahku di masa-masa jadi mahasiswa... Tapi aku menikmatinya. Serasa mesin waktu membawaku ke sebuah generasi dimana anak mudanya sangat memegang teguh prinsip "makan gak makan asal ngumpul" hmmmm... 

***

Tiba-tiba aku menemukan sebuah kertas kusut yang dilipat disela-sela halaman buku diary ku. Ya, itu surat dari Gilang yang pernah aku remas dan hampir aku sobek-sobek. Tapi aku urungkan dan kuputuskan untuk menyimpannya saja dengan baik. Ah, lagi-lagi anganku melayang menuju sebuah rumah bercat hijau muda yang cukup besar dan tingkat didalam komplek itu... 


....... Akhirnya sepulang dari kuliah jam pertama aku memberanikan diriku untuk menemui Gilang di kos nya. Tepatnya 2 hari setelah aku terima surat darinya. 
"Jujur aja ya, aku sempet mau berantem sama orang itu. Hampir aku tonjok mukanya!" Kata Gilang begitu emosi waktu itu. 
"Iya, tapi siapa orang itu? Temen kamu? Atau temen aku?" Tanyaku penuh keingintahuan. 
"Sorry.. Aku gak bisa bilang, Rana.. Ini gak ada hubungannya sama kamu. Sudahlah, kamu gak seharusnya terlibat dalam masalahku. Aku sekarang ini bener-bener minta pengertian kamu, aku mau sendiri dulu.." Tuturnya dengan pandangan kosong muka kusut menerawang entah kemana, bukan ke arahku. 
Aku mulai gak bisa menahan air mataku. 
"Aku gak ngerti apa yang ada di pikiranmu Gilang. Kamu tega!" Suaraku mulai bergetar. Lalu aku membalikkan badanku sambil mengusap setetes air mata yang terlanjur jatuh dipipiku. Kuambil tas Sophie Martin biru andalanku dari atas tempat tidur Gilang, juga 3 bundel makalah yang baru aku pinjam dari perpustakaan, dan pulang. Tanpa aku bisa berkata-kata lagi. Padahal aku berharap Gilang mengejarku dan menahanku untuk tidak pergi dari sana waktu itu. Tapi harapanku sirna...

Aku mempercepat langkahku agar segera sampai di kos. Kubuka pintu kamar lalu kututup setengah kubanting, kunyalakan radio dengan volume besar.

Saat itu di Jogja ada radio baru yang hanya memutar lagu-lagu saja. Belum ada iklan, belum ada berita, belum ada penyiar radio yang cuap-cuap. 24 jam non stop hanya memutar lagu-lagu saja. 101,7FM Jogja yang memiliki motto 'The soundtrack of your life' sedang memutar  lagu yang dibawakan Melly Goeslaw featuring Ari Lasso, Jika. Kemudian disusul oleh Katon Bagaskara yang muncul dengan tembang yang selalu berhasil membawa perasaan pendengarnya, Lara Hati, yang ia alunkan indah bersama Melly Goeslaw. 4 menit berikutnya lagu Separuh Nafas nya Dewa membuatku ikut bernyanyi, berteriak sih lebih tepatnya.. Terakhir, Dygta grup band baru yang langsung melejit dengan lagu andalannya KKSK (Karna Ku Sayang Kamu) berhasil melengkapi kesedihanku sore itu.

Whuaaaaaa... Makin jadi aja nih air mata meluap tak terbendung.
"Yes, you're rite! This is the soundtrack of my life..." *ngomong sama radio*
Tak terasa akupun tertidur lelap memeluk guling. Habis sudah rasanya stok air mataku hari itu... Hati menangis namun mata terasa kering. 

***

Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengalir hangat di pipiku. Tak terasa air mataku meleleh lagi. Segala andai-andai bermunculan dipikiranku, seandainya saja dulu dia terus terang padaku, seandainya aku dulu bisa lebih memahami perasaannya.. Seandainya dia tidak egois, dan aku tidak emosi waktu itu.. Aah, tapi semua ini tak ada gunanya. Terlambat sudah, nasi sudah menjadi bubur. Atau mungkin memang sudah begini jalanku? Mungkin ada hikmah dibalik semua ini?

Bertahun-tahun berlalu aku tetap tidak berhasil melupakan sosok laki-laki sesempurna Gilang, sempurna dimataku. Walaupun kini aku sedang berusaha membuka hatiku untuk menerima cinta yang lain, namun tetap tempat Gilang dihatiku tak tergantikan. 


Jogja, 18 Agustus 2004
Kamar Kos
Hari ini Adi tidak menjemputku, dia ada kuliah sampai sore. Jadi aku pulang jalan kaki, karena kos ku hanya berjarak sekitar 500 meter dari kantor. Sesampainya di kamar, aku diam sebentar sambil mikir, 'Hmmm..Siapa ya yang tadi jawab telponnya?' 
Sekitar jam 12 siang, menggunakan telpon genggamku kutekan 11 digit nomor HP yang Gilang tulis di form permintaan membuat kartu baru beberapa waktu lalu. Sengaja aku tak mau pakai telpon kantor, rada modus siih.. Qiqiqi boleh ya? Dan, seorang perempuan yang menjawab.
"Selamat siang.. Mmm, bisa bicara dengan Bapak Gilang?" Aku jadi pura-pura agak sopan setelah mendengar suara perempuan diseberang sana.
"Oooh A' Gilang nya lagi di kamar mandi. Ini dari mana ya?" Jawab perempuan berlogat Sunda itu. 
"Oh begitu, cuma mau memberi tahu kalo kartu ATM Bapak Gilang sudah bisa diambil besok pagi, Ibu." Ku atur suara yang paling manis sebagai customer service. 
"Oh iya, nanti saya sampaikan. Maaf ini dengan siapa ya?" Tanya perempuan bersuara lembut itu. 
"Dengan Rana, Ibu.. Terimakasih kalo begitu, selamat siang." 
Fiuh!! 

Kuraih remote TV kupilah-pilih channel tapi acaranya bikin males semua. Oh iya, jadi ingat kemaren dipinjemin VCD nya Kiamat Sudah Dekat sama mbak Retno belom aku tonton. Lalu kuambil remote VCD player diatas TV 14" yang kubeli dengan gaji pertamaku. VCD kumasukkan ke tempatnya lalu mulailah adegan demi adegan filem religius yang dikemas secara romantis tapi lucu itu. 1 jam pertama masih konsen sama jalan ceritanya. Selebihnya pikiranku mulai bercabang. Mulailah berkhayal dan kembali mengingat-ingat masa sedih kala itu. Lebih-lebih waktu adegan dimana Sarah mengirimkan surat untuk Fandy. Dalam suratnya Sarah memohon dengan sangat agar Fandy segera menemukan ilmu ikhlas sebagai syarat yang diberikan oleh ayah Sarah, untuk bisa menikahi gadis pujaannya itu. Aku gak bisa lagi membendung air mata ini, berkali-kali aku menyekanya dengan tissue. Entah sudah berapa lembar tissue yang memenuhi tempat sampah di kamarku. Antara terbawa suasana dalam adegan filem dan teringat masa lalu...

Yah... 'Aku mohon dengan sangat'... 
Akupun terinspirasi oleh doa dalam film itu. Hampir disetiap sujudku kupanjatkan doa untuk Gilang 'Yaa Tuhan, aku mohon dengan sangat, jika memang dia jodoh hamba, dekatkanlah kami. Tapi jika dia bukan jodoh hamba, maka jauhkanlah dan mudahkanlah hamba untuk melupakan dirinya yaa Tuhan.. Aku mohon dengan sangat."

***

Beep.. Beep.. HP ku berkedip tanda pesan masuk. Kulempar entah tissue yang keberapa kedalam tong sampah, namun meleset. Kuraih HP dari atas meja dan kubuka 1 pesan masuk tersebut. 

[Hey! Ini nmr km ya Rana? Ini aq, Gilang :) ATM udh jd ya? Bsk aq ksna ya, km ada dsn kan? Bls.]

Model nulis pesan singkat pada waktu itu memang begitu. Kode 'bls' maksudnya balas, si pengirim minta balasan dari penerimanya. Ngetiknya jg disingkat-singkat untuk menghemat pulsa. Padahal kalo dilihat dari nomornya kami menggunakan provider yang sama, biasanya satu provider kirim SMS gratis, tapi udah kebiasaan nulisnya begitu kali yaa..
Kemudian dengan semangat 45 aku membalas SMSnya. 

Aku :
[Hi, Gilang! Iy ini ak. Td ak nelp k hpmu hayo siapa yg angkat? Ce mu y? :p Bsk ada, dtg aja. Ak tggu y!]

Gilang :
[iya, ini lg ada kel dr ce aq dtg jd rame td di kontrakan. Kl gt smp bsk y rana.]

Aku :
[Oooooh... Ok smp ktm bsk.]

Gilang :
[Met mlm Rana, met bobo y!]

Astaga!! SMS nyaaaa... Dan aku hanya bilang makasih tanpa embel-embel di terakhir SMS ku pada waktu itu. Hatiku sangaaaaatt kacau.. *tepok jidat lagi*

Tapiii... Tadi dia bilang bahwa yang angkat telfon dariku itu pacarnya.. Hmmm, yah pupuslah harapanku..


Jogja, 19 Agustus 2004
Kantor
Sampai pukul 12.00 siang aku tunggu si Gilang belom juga datang untuk mengambil kartu ATM nya. Waktunya istirahat aku keluar pergi makan bersama mbak Siska salah satu senior juga di kantorku, orang-orang bilang kami anak kembar karena mirip. Kerjaan aku pasrahkan ke mbak Retno, yang saat itu masih melayani customer. Dia menyuruhku istirahat duluan, baru setelah aku kembali gantian dia yang istirahat nanti 1 jam kemudian. 

Intro soundtrack filem Eiffel I'm in Love milik Melly Goeslaw featuring Jimmo, Pujaanku, mengalun dari speaker HP ku. Dan kulihat nama Gilang Sutomo muncul di layar HP gendutku. 
"Hallo, Gilang.."
"Rana, udah aku ambil nih barusan ATM nya kata temenmu kamu lagi istirahat ya?" Tutur Gilang dari seberang sana.
"Oooh iya, gak papa Gilang. Hati-hati, jangan ilang lagi yaa.." Pesanku sok bijak. 
"Hehe iya.. Makasih ya! Udah dulu ya, kamu makan dulu biar ndut, hehe.. Aku balik dulu, nanti SMS an lagi ya.." Katanya sambil ketawa renyah. Kriukk!
"Hahaha aseeemm! Ok, hati-hati dijalan yaa.. Daaah!" Kataku setulus hatiku... 

Ternyata beberapa menit setelah kutinggal makan siang, Gilang datang. Akhirnya mbak Retno yang menguruskan ATM Gilang. 'Yah, gak ketemu deeehh..!' *nyesel*


Kamar Kos
Seperti malam-malam kemarin, sejak aku ketemu lagi dengan Gilang, selalu hanya sosoknya yang menari-nari di kepalaku. 
Nah! Tapi... Kenapa kata-katanya begitu yaaa? Gregetan iiihh rasanya.. 
'Apa sih maksudnya coba? Awas Rana, ini godaan!' Aku berkata pada diriku sendiri. 
'Kamu kan udah ada Adi, Gilang juga udah punya cewek. Apalagi? Sudah, hubungan kalian itu sudah selesai!' 
Tidak! Di lubuk hatiku yang paling dalam mengatakan sebaliknya. Bagiku hubungan kami masih menggantung tidak ada alasan yang jelas ketika itu. Aku yakin masih ada aku dihatinya. Akupun gak bisa bohong pada diriku sendiri bahwa sampai detik ini aku masih mencintainya. Dan sejujurnya, aku masih mengharapkan dia kembali.. 

***

Belakangan aku tau dari Harris, bahwa ternyata orang yang hampir ditonjok itu adalah bapaknya sendiri. Seperti yang aku tau Gilang adalah anak dari keluarga brokenhome. Dia begitu marah ketika mengetahui bahwa bapaknya memutuskan akan bercerai untuk yang kedua kalinya dan akan menikah lagi dengan perempuan lain. Gilang tidak bisa menerima keputusan bapaknya itu. Banyak alasannya. Makanya dia kacau sekali. Akupun menyesal kenapa baru sekarang mengetahui semuanya.. Seandainya saja pada waktu itu dia mengatakan yang sejujurnya, mungkin aku bisa lebih mengerti perasaannya. 

Ingin rasanya aku teriak sekencang-kencangnya, sambil berlari mencari Gilang kemudian memeluknya seeee erat-eratnya... Dan meminta maaf atas sikapku yang kekanak-kanakan saat itu, yang tidak mau mengerti betapa sulitnya ada di posisi dia dan justru malah menambah berat masalahnya.. Segala kemungkinan berkecamuk diotakku. 
Lagi-lagi air mataku pun membasahi bantal tempatku bersandar pada malam hari yang gerimis itu. 

(Bersambung ke Bagian 3)



Monday 1 February 2016

Romantika Gilang dan Rana (Bagian 1)

Jogja, 18 Desember 1999

"Hey! Rana?"
Sesaat langkahku terhenti didepan pintu kamar Harris, temen satu kos dari Bandung tapi fasih berbahasa Jawa. Tapi kok bukan suara si empunya kamar? Kos-kosan aku memang penghuninya campur, laki-laki dan perempuan. Jadi semua tamu baik laki-laki maupun perempuan diijinkan masuk kamar oleh  ibu kos ku. Asalkan tetap tanggungjawab. 
"Iya, eh siapa ya?" Tanyaku. 
"Aku Gilang, kenalin.. Temennya Harris satu kelas. Harris nya masih di kampus." Kata Gilang sambil mengulurkan tangannya kearahku, suaranya jelas dan sedikit ngebas layaknya penyiar radio.
"Kok tau namaku?" Lalu aku bertanya. 
"Harris yang bilang." Diapun senyum simpul. 
Lalu kami berdua ngobrol singkat sambil duduk dibawah masih didepan kamar Harris. Ngobrol seputar tempat asal kami masing-masing, tukeran no telpon, waktu itu belom jaman handphone apalagi sosial media seperti sekarang.
Padahal postur tubuh si Gilang ini agak kurus, ceking, setipe gitu deh sama Duta Sheila on 7, tapi suaranya sumpah merdunya mirip penyiar radio! Qiqiqi... Jadi betah aja ngobrolnya sampai si Harris yang punya kamar datang, dan barulah aku kembali ke kamarku. 


Jogja, 19 Desember 1999

"Ranaaaaa..." Suara ibu kos memanggil, tandanya ada orang yang datang mencariku. 
Eh? Dalam hatiku agak kaget, gak salah nih? Itu yang duduk di ruang tamu kan Gilang. Kok nyari aku? Sambil penasaran aku keluar kamar jalan menuju ke arah seseorang yang baru kukenal kemarin, duduk layaknya seorang cowok dengan kedua sikunya bertumpu di kedua pahanya santai, aku bergumam dalam hati 'Ternyata kece juga ya nih cowok?' sambil melambaikan tangan kearahnya dan disambut dengan senyuman yang oh my God, makin bikin diriku jadi deg deg ser aja... 
"Hallo.." Sapa Gilang
"Hai! Nyari aku?" Tanyaku polos sambil isyarat tanganku menunjuk ke kamar Harris.
"Iya. Oh Harris kan dia pulang kampung. Eh, kamu lagi ngapain, tidur ya?" 
"Gak.. Lagi nyetem gitar."
"Oh iya, kata Harris kamu bisa main gitar ya?"
"Hehe.. Eh Harris cerita apa sih tentang aku? Parah deh tu anak.."
"Hahaha! Curiga aja, Non.." Candanya kemudian. "Ayo, ajarin aku dong? Sini ambil gitarnya" lanjutnya. 
Dan kamipun terhanyut dalam buaian gitar-gitar asmara untuk yang pertama kalinya. Uhuuy...
Lagu pertama yang aku mainkan untuknya waktu itu adalah Kiss Me by Sixpence None The Richer. Ini bukan modus yaa, catet!


Solo, 25 Desember 1999

Kriiing.. Suara telpon hitam jadul dirumah orangtuaku berdering. Saking kencengnya sampai-sampai aku yang lagi di WC ikutan terkaget-kaget hihihi.. Mungkin aku terlalu menghayati. 
"Ranaaa, telpoooon.. Dijawab gak?" Kata ibuku
"Yaaa.." Teriakku sambil buru-buru menuntaskan yang harus dituntaskan. Aku bergegas menuju ruang tengah dimana telfon kuno itu berada. 
"Hallo.." Sapaku perlahan, kurang tau juga siapa diseberang sana karena tidak menyebutkan nama. 
"Hallo, Rana ya?" 
Aaaaaah.. Suara khas itu... "Eh kamu?" Jawabku sumringah. Gak berani nyebut namanya juga takut kedengeran si Ibu hihihi... Padahal juga gak papa sih. Tapi namanya juga mahasiswi baru masih takut ketahuan kalo jatuh cinta. Apah? Jatuh cinta? Ranaaaaaaa jatuh cintaaaaaa???

Sepertinya memang benar, Rana mantan anak band eh, dia mah lebih suka disebut sebagai cewek multitalented sih daripada anak band. Iya, soalnya alat musik apa aja dia bisa.
Nah, lanjut.. Rana yang aslinya tomboy, yang temennya cowok semua, yang keseringan mainin senar gitar daripada melukis alis sendiri. Yang lebih fasih megang stik drum daripada megang lipstik. Rana yang koleksi topi, sneakers  dan jaketnya menuh-menuhin lemari. Rana yang gak punya rok, sekarang lagi jatuh cintaaaa??? Aaaiiiiiihhh... Apa kata emak gueeee???

Yang jelas malam harinya setelah siangnya ditelpon Gilang yang lagi mudik di Bandung, aku gak bisa tidur. Saat-saat perkenalan dengan Gilang, saat-saat berdua main gitar, saat-saat naik motor berdua pake motor pinjeman (siapa lagi kalo bukan motor si Harris), saat-saat minum es buah di salah satu pojok trotoar Malioboro semangkok berdua hihihi, karena harganya gila bo' Rp. 15.000 satu mangkok!! Buat mahasiswa kala itu cukup mahal. Semua itu masih sangat jelas melayang dipikiranku. Ternyata aku sangat merindukannya. Oh malam, tolong sampaikan padanya bahwa aku amat sangat merindukan Gilang nun jauh disana.Ya, kampus lagi libur Lebaran waktu itu. Semua mahasiswa pulang ke kampung halaman masing-masing. 

Aku belum pernah merasakan rindu yang sehebat ini sebelumnya. Rindu yang teramat dalam dan tak terungkapkan. Sampai-sampai aku meneteskan air mata entah karena saking rindunya atau entah karena gak tau lagi apa yang bisa aku lakukan untuk menepis rasa ini. Baru kali ini aku kangen berat dengan seseorang sampai sedih, nyesek didada. Pada siapa aku mengungkapkannya pun aku gak ngerti. Aku coba memutar sederetan nomor dengan kode kota Bandung, setelah terjawab malah aku tutup. Aish! Bener-bener yaah! Ternyata rindu itu menyakitkan. Gilaaaaaang... Kamu merasakan hal yang sama gak sih? Ingin kuteriak rasanya.. 

Dan akhirnya akupun tertidur dalam keadaan rindu melanda di sofa depan TV.


Jogja, 13 Februari 2000

Seminggu sudah kami kembali ke kampus. Sudah menjadi kebiasaan pulang dari kampus Gilang selalu mampir ke kamarku. Dan memang sudah biasa juga dia main ke kamar Harris. Kadang sambil nunggu Harris datang Gilang main gitar dulu di kamarku. Hmmm... Jadi semangat dan berbunga-bunga sambil bikin tugas denger backsound nya petikan gitar si Gilang memainkan lagunya Bunga, Kasih Jangan Kau Pergi. Ah dia mah pura-pura gak bisa main gitar, pura-pura minta ajarin ternyata ada maunya. Gombal yang membawa berkah hihihi... 

"Eh, Rana!" 
Gilang adalah satu-satunya orang yang memanggilku lengkap Rana. Gak seperti temen-temen yang lain, ada yg manggil Ran, atau Na. 
"Aku balik dulu yah?" Lanjut Gilang, "Ntar malem aku jemput kamu kita keluar yuk? Ok yaah! Daaahh.." Sambil ngeloyor dia pergi aja gitu dari kamarku tanpa memberi kesempatan aku menjawab ajakannya. 

Hadeuh! *tepok jidat.. Kan nanti malam temen-temen kos mau ngerayain valentine. Waduh gaswat! Udah terlanjur janjian, si Jenny udah mesen kue, ini coklat buat tukeran kadopun udah aku bungkus ala kadarnya pake kertas koran. Tapiiiii, aku juga pengen pergi sama Gilang. Hmmm.. Aku ke mbak Lina dulu deh...
"Mbak Liiiin..." Sambil gedorin pintu kamar mbak Lina, cewek tinggi semampai berparas cantik dua tahun lebih tua dariku, asal Tegal. Sayang, cantik cantik tapi bikin ketawa kalo denger dia ngomong. Logat Tegal nya itu lho gak tahan, hihihi. Dalam hati cekikikan sendiri didepan kamarnya sambil nunggu dibukain pintu. 

Setelah menjelaskan duduk permasalahannya, kaya yang serius amat yah? Walaupun dengan wajah merah menahan malu karena jadi ketauan deh kalo Gilang lagi ada usaha, hihihi.. Tapi akhirnya dengan bijaksana alias mau mengerti perasaan adek kelasnya ini, Mbak Lina memberikan waktu untukku jalan bersama Gilang sampai pukul 9 malam. Kalo telat dihukum! Maaaaakk... Aku bukan Siti Nurbayaaaa, eh Cinderella... Ah tapi gak papa lah! Lumayan hihihi...

Waktu telah tiba, akupun akhirnya sudah memutuskan untuk pakai jeans belel dan t-shirt putih polos berkerah lebar, bergaris-garis warna hitam di bagian lengan dan gak ketinggalan jaket jeans kebanggan. Setelah berkeliling dari kamar ke kamar minta wangsit dari temen-temen yang lebih pinter soal mix and match tapi semua pilihan mereka norak bin ajaib. Ah sudahlah, as usual Rana yang masih tomboy tetap memilih pakaian casual. Tanpa polesan make up dan rambut sebahu yang disisir seadanya. Baginya menjadi diri sendiri lebih penting daripada berusaha menyenangkan orang lain tapi diri sendiri merasa tidak nyaman. 

Tiba-tiba lamunanku buyar ketika seseorang mengetuk pintu kamarku. 
Pintu kamar kubuka lebar dan berdirilah dihadapanku, qiqiqi aku pikir Teuku Ryan, artis yang ngetop pada masa itu. Segera ku kucek-kucek mataku, ternyata sesosok makhluk yang gak kalah ganteng sama Fedi Nuril, pake jaket jeans juga, rambut disisir rapi. Dua tangannya sembunyi dibalik punggungnya. 
"Hallo... Nih, buat kamu!" Sapanya kemudian senyum dan menyusullah rangkaian bunga mawar merah, kuning dan pink berpita biru dari balik punggungnya. 
"Ya ampuuuuunn... Makasiiiiihhh" seruku yakin gak bisa menutupi rasa happy campur malu pasti pipiku merah merona.
"Sesuai kan sama warna kesukaan kamu, biru.. Pitanya doang siihh" Kata Gilang agak salah tingkah. 

Spontan bunga dari Gilang aku terima dan kucium tanda aku menyukainya. Lalu aku mencari botol kaca bekas seadanya didapur kos-kosan dan kutaruhlah bunga itu sementara didalamnya dan kuletakkan diatas meja belajarku. Kemudian aku mengunci pintu kamar dan tiba-tiba Gilang menggandeng tanganku lalu kami berjalan keluar. 
"Suit suiiiiittt...!" Asem bener suara itu mengganggu saja. Ternyata Jenny, mbak Lina, Yetty dan Dwita turut menyeponsori kejadian ini. Aku dan Gilang hanya pandang-pandangan kemudian mempercepat langkah supaya segera lepas dari gangguan mereka. 

Setelah menyalakan motornya, lalu aku duduk dibelakang Gilang. 
"Pegangan dong Rana, nanti jatuh." Kata Gilang padaku. 
"Malu ah.." Kataku 
"Ya udah pegangan jaketku aja." Pintanya kemudian. 

Padahal dibelakang dia aku tersipu-sipu malu, eits lupa ada kaca spion! Bisa ketauan nih. Oops..
Kali ini Gilang bawa motor teman kos nya. Maklumlah dia gak dikasih kendaraan sama bapaknya. Khawatir di Jogja bukannya kuliah malah jalan terus. 

Kurang lebih 30 menit dijalan sampailah kita disebuah kafe, tempat nongkrong favorit anak muda pada masa itu. Namanya Kedai Meja Tiga. Sebuah kafe dengan konsep romantik cocok untuk candle light dinner disaat malam valentine kala itu. Entah kenapa dinamakan kedai meja tiga asal usulnya kurang tau, tapi kononnya sih awal-awal kafe itu dibuka cuma ada 3 meja dan 6 kursi. Dan dikarenakan bertambahnya customer yang datang ke kafe itu sekarang tidak cuma 3 meja tapi banyak. 

Kebetulan aku sering datang ke kafe itu bareng temen-temen, jadi udah kenal dekat dengan pemilik kafe, Mbak Dewi. Baru lulus kuliah, dikasih modal oleh orangtuanya yang saat itu menjadi salah satu pejabat pemerintah kota Jogja, untuk membuka kafe. 
"Haaaiii Ranaaaa!!" Sapa mbak Dewi begitu melihatku di kejauhan. Biasa dia memang selalu heboh tiap kali ketemu aku. Aku hanya melambaikan tangan kearahnya. 
"Ranaaaaa... Kemana aja kamu? Lama gak kesini.." Sambutnya sambil kita ber cipika cipiki. 
"Ah mbak Dewi aja yang gak pernah disini kalo aku dateng. Minggu lalu aku kesini kok berdua ma Jenny, sore jam 4 an gitu."
"Oooh aku udah cabut dari jam 2 an soalnya harus nganter Mama, biasa mau shopping hehe.. Eh, siapa tuh? Pacar baru? Kenalin dong, Rana gitu deh.." Mbak Dewi emang hobi menggodaku. 
Langsung kucubit pinggang mbak Dewi, "Ssst... Bukan. Temen, mbak!" Koreksiku. Gilang sih senyam-senyum aja. Lalu mereka kenalan. Mbak Dewi mempersilakan kami untuk menikmati makanan pesanan kami. 

Singkat cerita, tidak terjadi apa-apa disana. Aku dan Gilang hanya ngobrol seputar keluarganya, keluargaku. Tentang masa SMA dulu dan semua hal yang pernah kita lakukan masing-masing dari kejadian biasa sampai kejadian konyol dan memalukan. Tapi gak ada jaim diantara kita. Jaim lagi ke laut wkwkwk.. Semuanya mengalir begitu saja seakan-akan kami udah lama saling kenal. 

Aku melirik jam ditanganku. Aduh! Jam 9 lebih 10 menit! Gak terasa 2 jam berlalu secepat itu. 
"Gilang, pulang yuk? Ditunggu temen-temen ntar aku gak dibukain pintu pula klo telat.." Pintaku sedikit panik. 
"Bener? Jadi pulang sekarang nih?" Tanyanya setengah menggoda. 
"Yuk ah cepetan!" Sambil kucubit lengannya. Dia nyengir aja sambil merogoh kunci motor GL-Pro disaku celananya. 

Tepat jam 10 malam, aku sampai dikos dan teman-temanku masih setia menunggu. Biasalah, langsung disuruh konferensi pers. Kemudian kenorakan dimulai. Dan berakhir jam 12 malam, masing-masing masuk ke kamarnya. Dan aku, masih membayangkan wajah Gilang dan segala sikapnya yang misterius. 'Dia suka gak sih sama aku?' Batinku. Kalo suka kok gak nembak? Kalo gak suka kenapa perhatian? Ah Rana, please be calm!


Jogja, 17 Februari 2000

Siang itu agak mendung, Gilang datang seperti biasa dia masuk kamar langsung ambil gitar dan memainkannya. Aku masih sibuk dengan tugas-tugas mata kuliah Bisnis Plan yang membuatku harus menghayal. Namun lagu Pelangi Di Matamu punya Jamrud yang Gilang nyanyikan membuatku menghayal jauh ke tempat lain. Hihihi! 
"Kok berenti?" Tanyaku kemudian memecah kesunyian karena petikan gitarnya tak terdengar kira-kira 30 detik. Aku menoleh ke arahnya 1 detik kemudian kulanjutkan menulis lagi. Tapi pertanyaanku tak dijawab. 
"Rana, sini dong?" Katanya pelan.
Mendadak aku jadi salah tingkah, dan mencoba keep calm pindah dari kursi belajar ke karpet dan duduk di sebelah Gilang. 
"Ada apa?" Tanyaku sedikit curiga
"Rana, kamu itu lucu yaah.." 
"Laaaah kok lucu emang badut?" Kupukul lengan Gilang ala-ala petinju, dia hampir ambruk dan mencoba bertahan lalu kembali ke posisi semula. Kami ketawa berbarengan melepas sejenak kegugupan yang ada. 
"Abdi.. Hoyong.. Ka anjeun.." Katanya lembut dan pelan. 
"Ngomong apa sih? Gak ngerti.." Aku bingung dia ngomong bahasa Sunda yang aku gak ngerti babar blas artinya. 
Lagi-lagi dia cuma mesam-mesem penuh arti. Sesekali mengusap-usap hidungnya, membetulkan rambutnya yang agak gondrong. Yang jelas dia grogi. 
"Gak.. Gini lho, kamu... Mau gak.. Jadi pacar aku?" 
Sontak aku kaget sekaligus gak percaya. 
Akhirnya Gilang nembak jugaaaaa! Rasanya gak karuan di dadaku campur-campur semua deh ada disini. Antara seneng, deg-degan tapi juga gengsi dan malu. Aku belom bisa berkata-kata hanya melipat kedua kaki dan kudekap di dada erat-erat, menunduk malu-malu tapi sebenernya mau juga siiihh. Hahahah!! Dia menyandarkan gitarnya di dinding lalu meraih tanganku dan menggenggamnya. Jantungku makin berdegup kencang saja. 
"Rana? Kamu sayang gak sama aku?" Tanyanya menanti jawaban sambil terus menatapku.
Aku hanya bisa membalas tatapannya dengan senyum dan mengangguk. Diapun menerima isyaratku. Lalu kamipun tersenyum, dia peluk aku dan akupun jatuh dalam pelukannya. 
"Makasih ya Rana.. I love you since we met at the first time." Katanya
"What?? Sama dong." Akhirnya akupun mengakuinya. 
"Oh ya? Ini gak mimpi kan?" Diapun seakan-akan gak percaya sambil mencubit-cubit tanganku.
"Aaaww! Sakit tau.."
Lalu diciumnya tanganku dengan lembut. 


Aku ambil gitar dan kumainkan instrumen lagu favorit kami dari Bunga, Kasih Jangan Pergi. Kemudian Gilang pun bernyanyi untukku. Suaranya lumayan. Kolaborasi yang pas, menurut yang lagi terpanah asmara. Pokoknya dunia milik berdua deh. Ah betapa bahagianya kami saat itu. 


Jogja, 19 Februari 2000

Malam minggu pertama kami setelah jadian pun tiba. Pagi sampai siang kami sama-sama ada kuliah dan hanya sempat ketemu sebentar di kampus. Aku dan Gilang beda jurusan jadi jadwal kuliah pun kadang tidak sama. Hari itu aku kuliah hanya sampai jam 12.30 siang. Tapi Gilang ada kuliah lagi jam 3.30 sore. Jadi kami hanya bertemu dari jam 1 siang sampai jam 3.30 sore. Kampus kami cukup dekat hanya perlu jalan kaki 2 menit dari kos. Dan kos aku dengan kos Gilang hanya berjarak sekitar 200 meter. 

Akhir pekan kali ini aku tetap di kos dan tidak pulang ke Solo seperti minggu-minggu sebelumnya. Kan ada pacar baru... Hihihi. 

Jam 7 lewat 15 menit Gilang menjemputku kemudian kami berjalan kaki ke warung mahasiswa dekat kampus untuk makan malam. Tidak seperti mahasiswa jaman sekarang, mahasiswa angkatan tahun 90 an makan di angkringan pun asal berdua sama pacar, serasa candle light dinner di kafe mahal hihihi... Bedanya di kafe pake lilin beraroma kalo di angkringan pake petromak, hahaha!!


Ternyata orang tua Gilang sudah berpisah sejak dia SMP. Dia punya adik laki-laki satu, tinggal bersama ibunya. Sementara Gilang tinggal bersama bapaknya yang sudah menikah lagi dan mempunyai seorang anak perempuan. Namanya Rury. Dia sangat sayang dengan adik perempuannya yang waktu itu masih berumur sekitar 5 tahun.
Aku jadi terharu mendengar cerita tentang kehidupan Gilang. Dia bilang, kalo dia menikah nanti gak mau seperti orangtuanya, sebisa mungkin akan dia jaga agar keluarga tetap utuh kasihan anak-anak yang jadi korbannya. 

Gilang, walaupun dia satu tahun lebih muda dariku dia sangat dewasa. Mungkin pengalaman hidupnya yang membuat dia cepat dewasa. Terlihat dari cara ngomongnya, caranya dia berfikir dan melihat sesuatu. Cara dia memperlakukan aku. He is so sweet, dia selalu berjalan disebelah kananku dan memegang tanganku ketika menyeberang bersama. Dia sangat memperhatikan aku, itulah sebabnya aku begitu jatuh hati padanya. Hingga suatu hari...


Jogja, 22 Februari 2000

Tiga hari sudah Gilang tak kunjung datang ke kos seperti biasa. Hari-hari berlalu tanpa aku mendengar kabar tentang Gilang lagi. Diapun gak kelihatan menemui Harris sobat kentalnya itu. Padahal sehari bisa 3 kali dia bolak-balik datang. Lah ini enggak, membuatku cemas sekaligus galau. 

Kebetulan tadi pagi kami berpapasan di kampus, aku dan teman-temanku sedang duduk sambil membahas materi kuliah yang baru saja disampaikan dosen, di kursi panjang depan kelas Manajemen. Aku lihat Gilang berjalan bersebelahan dengan Harris menuju ke kelas Akuntansi. Gilang melihatku kemudian senyum sambil gerak bibirnya mengisyaratkan 'aku masuk kelas dulu yaa' Akupun membalas senyumnya dan mengangguk tanda okay. 


Jogja, 23 Februari 2000

Kutunggu dan kutunggu, gak pernah datang jawaban yang pasti. Ini gak biasa, ada yang gak beres kayanya. Tapi apa? Kenapa Gilang gak memberitahuku? Aku ini pacarnya kan? Aku mulai gelisah, kuliah gak konsen, tidur gak nyenyak, makan pun gak selera. Setiap bangun tidur selalu yang terbayang pertama kali hanyalah wajah Gilang. Aku bisa gila kalo lama-lama dibiarkan seperti ini. Akupun berinisiatif menulis surat untuk Gilang. Bodohnya aku, aku gak punya keberanian untuk datang ke kos Gilang menanyakan sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Lalu kuambil bolpen bertinta biru warna kesukaanku, dan kutulislah surat untuk Gilang...

Rabu, 23.02.00, 05.00 am.

Dear, Gilang...
Apakabar sayang? Semoga kamu baik-baik aja. Kamu kemana aja selama ini? Kenapa kamu gak ngasih kabar, gak datang lagi ke kosan aku? Aku kan jadi bingung, paling gak kamu cerita dong ke aku. Siapa tau aku bisa bantu. Tapi gak begini caranya. Kamu gak mikirin perasaanku. Aku kangen kamu, Gilang...

Atau aku udah buat kamu marah ya? Aku minta maaf kalo udah buat kamu kecewa dan gak mau nemuin aku lagi. Tapi please Gilang kasih tau aku.. Dimana kesalahanku?

Sayang, asal kamu tau ya aku tuh sayang banget sama kamu. Aku harap kamu juga bener-bener sayang ma aku. Tolong balas suratku ini... Aku pengen kita sama-sama lagi seperti kemaren-kemaren. Sampai kapanpun aku akan tetap nunggu kamu Gilang. Kamu lihat kertas yang masih basah dan tulisan yang luntur itu kan? Itu tetesan air mataku... Supaya kamu tau kalo aku bener-bener sayang kamu...

With love,
Rana, yang lagi sedih..

Setelah kubaca ulang lalu kertas kulipat, kemudian naik ke lantai atas ke kamar Harris untuk menitipkan surat itu. 
Kupanggil Harris sambil kuketuk pintu kamarnya yang masih tertutup. Ternyata dia baru bangun. 
"Ya!" Jawab Harris dengan suara masih parau dan sambil mengusap matanya yang belom sepenuhnya terbuka, membuka pintu kamarnya. 
"Titip ini ya tolong kasih ke Gilang." Kataku datar.
"Ini aja ya?" Tanya Harris sambil membolak-balikkan surat itu
"Iya, udah itu aja. Makasih ya, Ris. Eh, salam buat Gilang.." Kataku sambil mencoba untuk senyum. Kemudian aku balik ke kamarku lagi. 

***

Hari-hariku mulai hampa tanpa hadirnya Gilang disisiku lagi, seperti baru kemaren aku merasakan kebahagiaan, ada kekasih yang mengisi hari-hariku, namun belum puas aku merasakan kedekatan bersama orang yang aku sayang, tiba-tiba dia menghilang entah apa sebabnya.

Kuminta mbak Lina menemaniku pergi ke Kedai Meja Tiga sekedar melepas beban rindu dan rasa penasaranku atas sikap Gilang akhir-akhir ini. Disana kucurahkan semua air mata dan isi hatiku, ditemani mbak Lina juga mbak Dewi si pemilik kafe. Mereka menyarankan agar aku tetap sabar, tunggu penjelasan dari Gilang. Jangan gegabah karena hanya akan memperburuk keadaan. 
"Kalo perlu kamu dong yang ke kos nya, siapa tau dia sakit, hayo?" Tutur mbak Dewi. 
"Gitu ya mbak? Tapi aku malu.." Kataku belom-belom udah nervous. 
"Yah elaaahhh..."


Jogja, 24 Februari 2000

"Ran..." Kudengar suara Harris dibalik pintu kamarku. Segera kuhapus sisa-sisa air mataku. Hampir setiap hari, bangun tidur, sepulang dari kampus, mau tidur, aku hanya bisa nangis dan nangis. 
Pintu kamar kubuka dan aku gak peduli lagi entah seperti apa wajahku saat itu. 
"Ini ada surat dari Gilang.." Kata Harris singkat kemudian dia pamit. Mungkin dia tau aku lagi suntuk. 
"Oh iya makasih." Jawabku pendek. 

Kututup pintu kamar dan cepat-cepat kubuka surat mungil tanpa amplop itu. 

23 Februari 2000, 11.00 pm

Malam Rana...
Aku sudah membaca isi suratmu. Dan aku sangat mengerti perasaan kamu. Please jangan sedih ya? Aku benar-benar minta maaf sama kamu Rana, sepertinya aku gak bisa ngelanjutin hubungan kita. Aku lagi ada masalah keluarga dan aku gak mau kamu kena dampaknya. Tolong kamu ngertiin aku ya... Kamu terlalu baik buat aku Rana. Aku gak mau kamu jadi ikut kepikiran karena masalahku. Aku mau sendiri dulu. Maafkan aku gak bisa cerita semuanya. Semoga kamu dapet pengganti yang lebih baik dari aku. Makasih udah perhatian ma aku. 

From :
Gilang...


Kemudian pecahlah tangisku sore itu bagaikan disambar petir ditengah-tengah hujan yang deras di siang bolong.

Yes.. Confirmed! He broke my heart... 


(Bersambung ke Bagian 2)