Saturday 6 February 2016

Romantika Gilang dan Rana (Bagian 2)

4 Tahun kemudian...

Jogja, 28 Juni 2004

Bulan September tahun 2003 aku lulus kuliah dan memutuskan pulang ke Solo saja sambil melamar pekerjaan. Tapi mungkin memang sudah namanya rejeki, baru 9 bulan dirumah aku harus kembali lagi ke Jogja. Karena aku diterima bekerja sebagai pegawai di salah satu bank swasta ternama di kota kenangan itu. 

Sangat tidak mudah melewati 4 tahun dengan sisa-sisa kenanganku bersama Gilang. Mana satu kampus, kos-kosan dekat, bukan tak jarang kami sering berpapasan maupun bertemu dalam satu  tempat makan atau wartel dan warnet. Meski begitu singkat, namun hari-hari bersamanya sungguh berkesan, dia benar-benar sosok yang aku dambakan untuk menjadi pendamping hidupku. Dia sangat berarti. Sampai-sampai aku sempat jatuh sakit. Selama 2 minggu gak bisa makan nasi. Panas demam, seluruh rongga mulut penuh sariawan. Minum air putih pun perihnya bukan main. Akhirnya badanku yang udah kurus begeng begini tambah tipis aja kaya peragawati, hmmm.. Sedih... Kata dokter aku terlalu banyak pikiran. Stress lah bahasa gaulnya. 

Benar-benar aku gak sanggup melupakan Gilang dari ingatanku. Namanya sudah terlanjur melekat terukir di salah satu sudut hatiku, sulit digantikan dengan yang lain. Lagi-lagi aku menitikkan air mata disaat aku teringat wajah manis bermata minus itu. Dimana dia berada ya Tuhan? Lindungilah dia, pertemukanlah kami kembali jika dia memang jodohku ya Tuhan... 

Jogja, 12 Agustus 2004
Kantor
Akhirnya selesai juga masa training ku sebagai pegawai bank. Hari ini aku resmi memakai seragam, blouse putih, blazer biru dan rok sepan biru. Aku suka seragam ini. Yaaa betul, because it's blue hahaha... Kata temen-temen Rana yang sekarang kelihatan feminin, sudah gak kaku lagi ketika pakai rok, bisa dandan, dan high heels adalah sepatu wajibku selama bertugas. Meski berangkat dan pulang kerja tetap saja sneakers yang setia menemaniku. Rambutpun mulai aku perhatikan agar tetap lurus dan hitam mengkilat, namun tetap tidak melebihi bahu. Itulah tuntutan profesiku setelah memasuki dunia pekerjaan.

Disela-sela kesibukanku yang saat itu bertugas di bagian customer service, setelah melayani seorang pelanggan tiba-tiba mataku tertuju pada sosok yang sangat aku kenal. Ya! Aku kenal sekali!
'Astaga! Gilang?' Pekikku dalam hati. Tapi matanya melihat ke arah lain, dia tidak melihatku. Mendadak jantungku berdegup kencang.. *seperti genderang mau perang*
Sambil berusaha menenangkan diri agar aku tetap stabil tidak cemas dan tidak gugup, aku mencoba tarik nafas dalam-dalam dari hidung, buang nafas dari mulut.. Tarik nafas panjang sekali lagi, buang... 'That's enough, Rana!' Antara pengen banget dia melihatku, tapi bingung juga apa yang akan kulakukan jika kami benar-benar bertatap muka?? Oooohh tidaaakk!! Pasti mukaku jelek sekali waktu itu.. *tepok jidat*
'Ok. Sudah. Tenanglah, Rana! Kembali bekerja!' Aku sibuk menenangkan diriku sendiri.

Kemudian kutekan tombol untuk memanggil pelanggan selanjutnya.
Ya Tuhan! Aku nampak Gilang beranjak dari kursinya berjalan menuju ke arahku. Aku mulai berdiri untuk menyambutnya, menjabat tangannya dan mempersilahkannya duduk. Begitu cara kami untuk melayani pelanggan. 

Dua langkah sebelum sampai di kursi yg berada didepan mejaku, Gilang baru menyadari kalo ini aku. Dan setelah dia melirik ke name tag yang kupasang di kerah blazerku, tertulis Rianti Amaranggana, baru dia tersenyum lebar. Dia tampak heran dan sedikit terkejut melihatku berpenampilan seperti ini. 
"Gilang.. Apa kabar sekarang?" Tanyaku sambil menjabat tangannya. Dia meraih tanganku. Kami berjabat tangan begitu erat, seperti mengalir kembali butiran-butiran asmara dalam darah kami yang dulu sempat mengendap. 
"Baik, baik. Kamu pakabar Rana?" Jawab Gilang dengan senyum manisnya yang sudah lama aku tak melihatnya. 
"Silahkan duduk.."
"Oya. Makasih..."

Gilang datang untuk mengurus kartu ATM nya yang hilang tadi pagi. Dompetnya jatuh entah dimana, semua kartu-kartu hilang. 
Aku sempat meminta nomor HP Gilang untuk keperluan informasi database. 

"Ok, Gilang.. Nanti aku telfon kalo ATM nya udah jadi ya." 
"Ok.. Sms juga boleh. Kalo gitu aku pamit ya? Nanti kabarin aja, Rana. Makasih ya.."
Kemudian kami sama-sama berdiri, salaman lagi, dia membalikkan badan berjalan menuju pintu keluar. Dan aku... Kembali duduk sejenak, menghela nafas panjang lagi, kemudian minta ijin mbak Retno, senior aku, untuk ke toilet sebentar. 

***

Aku memakudiri didepan kaca toilet perempuan di kantor, untung sepi. Aku memandangi wajahku sendiri sambil senyum-senyum. Pipiku merona, tapi aku yakin ini bukan karena blush-on yang ketebelan, bukan.. Aku pegang-pegang tangan kananku bekas salaman sama Gilang tadi. Yaa ampuuuun Rana...
Woiy sadar wooy!!
Aku coba menampar pipiku sendiri dan "Aaww! Sakit.." Ternyata ini bukan mimpi. 'Ini kenyataan! Kenyataannya aku bertemu Gilang... Setelah sekian lama. Ya Tuhanku...' Teriakku dalam hati sambil sedikit melompat-lompat kegirangan, sesekali mataku melirik kearah pintu siapa tau tiba-tiba ada orang masuk, malu lah aku.. 

Aku bener-bener gak nyangka, Gilang masih ada di Jogja. Hari itu aku bener-bener seperti habis dapet undian berhadiah mobil, bahagia sekali, sebahagia 4 tahun yang lalu ketika dia menyatakan cintanya padaku. Sumpah, jadi pengen ketawa terus aku saat itu. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur dalam hati bahwa Tuhan telah mempertemukan aku kembali dengan cinta pertamaku. 

Ya, dia cinta pertamaku... Kata orang, cinta pertama itu kenangannya begitu melekat didada, tak terlupakan. Dia memang bukan yang pertama tapi dialah orang yang berhasil mencuri hatiku lebih daripada yang lain. Gilang adalah cowok ketiga yang pernah menjadi kekasihku. Dan dialah satu-satunya kekasih diantara yang sebelum-sebelumnya yang sangat sopan dan bertanggung jawab, satu-satunya kekasih yang menjaga sekali perasaanku. Lelaki yang tau benar bagaimana memperlakukan wanita seperti layaknya seorang Putri. Mataku pun mulai berkaca-kaca, lalu kucabut tissue dari kotaknya disebelah vas bunga depan kaca. Kutahan air mata ini agar jangan sampai menetes mengingat wajahku yang masih penuh dengan make-up.

Kulihat Gilang yang sekarang lebih dewasa dari Gilang yang dulu kukenal. Dengan kemeja kotak-kotak kombinasi warna coklat dan krem nya tadi membuat dia kelihatan lebih keren, ditambah rambut potongan cepak ala Keanu Reeves juga kacamatanya yang masih awet dan badan yang sedikit berisi dibanding jaman kuliah dulu. Ternyata setelah lulus S1 nya yang hanya selang satu periode setelah aku lulus, Gilang melanjutkan kuliah S2 nya di kampus yang berbeda dengan kampus kami dulu. 

***

10 menit sudah aku didalam toilet hanya untuk melamun dan membiarkan anganku membawaku ke masa silam... 'Waduh, aku harus segera kembali ke mejaku, kalo tidak nanti mbak Retno bisa 'nyanyi' tanpa mic nih, hihihi...' 

*** 

Jam di kantor menunjukkan pukul 4.45 tandanya 15 menit lagi karyawan boleh pulang. Tak lama HP ku berbunyi. Aku ambil dari dalam tasku dan kulihat nama Adi tertera dalam layar HP ku. 
"Yaa.." Kutekan tombol hijau di keypad telpon genggam ku sambil merapikan meja kerjaku. 
"Yang, aku udah dibawah ya.."
"Iya Di, tunggu bentar yaa..!"
"Ok, daaah!" 

Ya. Dialah Adi, cowokku saat itu. Kami baru 6 bulan pacaran. Cowok keturunan Cina-Banjar-Bugis tapi sudah menetap di Jogja bersama orangtuanya sejak tahun 1997. Adi adalah calon dokter gigi yang sedang menyelesaikan profesinya di salah satu universitas negri di Jogja.

Kebetulan waktu itu Adi lagi free jadi dia menjemputku di kantor kemudian kami mampir ke warung makan dulu sebelum dia mengantarku pulang ke kos. Aku biasa makan malam awal, pulang kerja langsung makan karena males banget keluar lagi malamnya kadang udah capek.
Setelah keluar kantor melalui pintu karyawan di bagian belakang gedung, kulihat Adi sudah menunggu diluar gerbang dibawah pohon asem, sambil duduk diatas motor Tiger birunya.
"Eh, lama ya nunggunya? Sorry yaah.." Sapaku pada Adi sambil mengambil helm yang dia sodorkan. 
"Gak kok.. Yuk! Mau makan dimana?" Tanyanya. 
"Mana ajalah, terserah kamu.." Jawabku pasrah habis gak ada ide. Yang ada dalam otakku cuma bayangan wajah Gilang tadi. 'Ooooohh tidaaaakkk!! Ya Tuhan tolong aku supaya aku bisa bersikap biasa aja didepan Adi... Please!!' "Ya udah, tempat biasa aja yaa?"
"Boleh." 


Jogja, 14 Agustus 2004
Kamar Kos
Mumpung weekend Sabtu pagi aku bangun sengaja lebih siang. Semalam aku membongkar lagi harta karun usang yang masih aku simpan di dalam kotak kecil berbahan kertas daur ulang. Didalamnya ada sebuah buku diary berukuran kecil berwarna biru muda bergambar kupu-kupu. 

Kubuka perlahan lembar demi lembar. Sesekali kubaca ulang setiap detail tulisan, kadang aku terhanyut dalam cerita sedih yang aku tulis, kadang jadi ketawa cekikikan baca yang konyol dan lucu. Sampai-sampai malu sendiri membayangkan polah tingkahku di masa-masa jadi mahasiswa... Tapi aku menikmatinya. Serasa mesin waktu membawaku ke sebuah generasi dimana anak mudanya sangat memegang teguh prinsip "makan gak makan asal ngumpul" hmmmm... 

***

Tiba-tiba aku menemukan sebuah kertas kusut yang dilipat disela-sela halaman buku diary ku. Ya, itu surat dari Gilang yang pernah aku remas dan hampir aku sobek-sobek. Tapi aku urungkan dan kuputuskan untuk menyimpannya saja dengan baik. Ah, lagi-lagi anganku melayang menuju sebuah rumah bercat hijau muda yang cukup besar dan tingkat didalam komplek itu... 


....... Akhirnya sepulang dari kuliah jam pertama aku memberanikan diriku untuk menemui Gilang di kos nya. Tepatnya 2 hari setelah aku terima surat darinya. 
"Jujur aja ya, aku sempet mau berantem sama orang itu. Hampir aku tonjok mukanya!" Kata Gilang begitu emosi waktu itu. 
"Iya, tapi siapa orang itu? Temen kamu? Atau temen aku?" Tanyaku penuh keingintahuan. 
"Sorry.. Aku gak bisa bilang, Rana.. Ini gak ada hubungannya sama kamu. Sudahlah, kamu gak seharusnya terlibat dalam masalahku. Aku sekarang ini bener-bener minta pengertian kamu, aku mau sendiri dulu.." Tuturnya dengan pandangan kosong muka kusut menerawang entah kemana, bukan ke arahku. 
Aku mulai gak bisa menahan air mataku. 
"Aku gak ngerti apa yang ada di pikiranmu Gilang. Kamu tega!" Suaraku mulai bergetar. Lalu aku membalikkan badanku sambil mengusap setetes air mata yang terlanjur jatuh dipipiku. Kuambil tas Sophie Martin biru andalanku dari atas tempat tidur Gilang, juga 3 bundel makalah yang baru aku pinjam dari perpustakaan, dan pulang. Tanpa aku bisa berkata-kata lagi. Padahal aku berharap Gilang mengejarku dan menahanku untuk tidak pergi dari sana waktu itu. Tapi harapanku sirna...

Aku mempercepat langkahku agar segera sampai di kos. Kubuka pintu kamar lalu kututup setengah kubanting, kunyalakan radio dengan volume besar.

Saat itu di Jogja ada radio baru yang hanya memutar lagu-lagu saja. Belum ada iklan, belum ada berita, belum ada penyiar radio yang cuap-cuap. 24 jam non stop hanya memutar lagu-lagu saja. 101,7FM Jogja yang memiliki motto 'The soundtrack of your life' sedang memutar  lagu yang dibawakan Melly Goeslaw featuring Ari Lasso, Jika. Kemudian disusul oleh Katon Bagaskara yang muncul dengan tembang yang selalu berhasil membawa perasaan pendengarnya, Lara Hati, yang ia alunkan indah bersama Melly Goeslaw. 4 menit berikutnya lagu Separuh Nafas nya Dewa membuatku ikut bernyanyi, berteriak sih lebih tepatnya.. Terakhir, Dygta grup band baru yang langsung melejit dengan lagu andalannya KKSK (Karna Ku Sayang Kamu) berhasil melengkapi kesedihanku sore itu.

Whuaaaaaa... Makin jadi aja nih air mata meluap tak terbendung.
"Yes, you're rite! This is the soundtrack of my life..." *ngomong sama radio*
Tak terasa akupun tertidur lelap memeluk guling. Habis sudah rasanya stok air mataku hari itu... Hati menangis namun mata terasa kering. 

***

Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengalir hangat di pipiku. Tak terasa air mataku meleleh lagi. Segala andai-andai bermunculan dipikiranku, seandainya saja dulu dia terus terang padaku, seandainya aku dulu bisa lebih memahami perasaannya.. Seandainya dia tidak egois, dan aku tidak emosi waktu itu.. Aah, tapi semua ini tak ada gunanya. Terlambat sudah, nasi sudah menjadi bubur. Atau mungkin memang sudah begini jalanku? Mungkin ada hikmah dibalik semua ini?

Bertahun-tahun berlalu aku tetap tidak berhasil melupakan sosok laki-laki sesempurna Gilang, sempurna dimataku. Walaupun kini aku sedang berusaha membuka hatiku untuk menerima cinta yang lain, namun tetap tempat Gilang dihatiku tak tergantikan. 


Jogja, 18 Agustus 2004
Kamar Kos
Hari ini Adi tidak menjemputku, dia ada kuliah sampai sore. Jadi aku pulang jalan kaki, karena kos ku hanya berjarak sekitar 500 meter dari kantor. Sesampainya di kamar, aku diam sebentar sambil mikir, 'Hmmm..Siapa ya yang tadi jawab telponnya?' 
Sekitar jam 12 siang, menggunakan telpon genggamku kutekan 11 digit nomor HP yang Gilang tulis di form permintaan membuat kartu baru beberapa waktu lalu. Sengaja aku tak mau pakai telpon kantor, rada modus siih.. Qiqiqi boleh ya? Dan, seorang perempuan yang menjawab.
"Selamat siang.. Mmm, bisa bicara dengan Bapak Gilang?" Aku jadi pura-pura agak sopan setelah mendengar suara perempuan diseberang sana.
"Oooh A' Gilang nya lagi di kamar mandi. Ini dari mana ya?" Jawab perempuan berlogat Sunda itu. 
"Oh begitu, cuma mau memberi tahu kalo kartu ATM Bapak Gilang sudah bisa diambil besok pagi, Ibu." Ku atur suara yang paling manis sebagai customer service. 
"Oh iya, nanti saya sampaikan. Maaf ini dengan siapa ya?" Tanya perempuan bersuara lembut itu. 
"Dengan Rana, Ibu.. Terimakasih kalo begitu, selamat siang." 
Fiuh!! 

Kuraih remote TV kupilah-pilih channel tapi acaranya bikin males semua. Oh iya, jadi ingat kemaren dipinjemin VCD nya Kiamat Sudah Dekat sama mbak Retno belom aku tonton. Lalu kuambil remote VCD player diatas TV 14" yang kubeli dengan gaji pertamaku. VCD kumasukkan ke tempatnya lalu mulailah adegan demi adegan filem religius yang dikemas secara romantis tapi lucu itu. 1 jam pertama masih konsen sama jalan ceritanya. Selebihnya pikiranku mulai bercabang. Mulailah berkhayal dan kembali mengingat-ingat masa sedih kala itu. Lebih-lebih waktu adegan dimana Sarah mengirimkan surat untuk Fandy. Dalam suratnya Sarah memohon dengan sangat agar Fandy segera menemukan ilmu ikhlas sebagai syarat yang diberikan oleh ayah Sarah, untuk bisa menikahi gadis pujaannya itu. Aku gak bisa lagi membendung air mata ini, berkali-kali aku menyekanya dengan tissue. Entah sudah berapa lembar tissue yang memenuhi tempat sampah di kamarku. Antara terbawa suasana dalam adegan filem dan teringat masa lalu...

Yah... 'Aku mohon dengan sangat'... 
Akupun terinspirasi oleh doa dalam film itu. Hampir disetiap sujudku kupanjatkan doa untuk Gilang 'Yaa Tuhan, aku mohon dengan sangat, jika memang dia jodoh hamba, dekatkanlah kami. Tapi jika dia bukan jodoh hamba, maka jauhkanlah dan mudahkanlah hamba untuk melupakan dirinya yaa Tuhan.. Aku mohon dengan sangat."

***

Beep.. Beep.. HP ku berkedip tanda pesan masuk. Kulempar entah tissue yang keberapa kedalam tong sampah, namun meleset. Kuraih HP dari atas meja dan kubuka 1 pesan masuk tersebut. 

[Hey! Ini nmr km ya Rana? Ini aq, Gilang :) ATM udh jd ya? Bsk aq ksna ya, km ada dsn kan? Bls.]

Model nulis pesan singkat pada waktu itu memang begitu. Kode 'bls' maksudnya balas, si pengirim minta balasan dari penerimanya. Ngetiknya jg disingkat-singkat untuk menghemat pulsa. Padahal kalo dilihat dari nomornya kami menggunakan provider yang sama, biasanya satu provider kirim SMS gratis, tapi udah kebiasaan nulisnya begitu kali yaa..
Kemudian dengan semangat 45 aku membalas SMSnya. 

Aku :
[Hi, Gilang! Iy ini ak. Td ak nelp k hpmu hayo siapa yg angkat? Ce mu y? :p Bsk ada, dtg aja. Ak tggu y!]

Gilang :
[iya, ini lg ada kel dr ce aq dtg jd rame td di kontrakan. Kl gt smp bsk y rana.]

Aku :
[Oooooh... Ok smp ktm bsk.]

Gilang :
[Met mlm Rana, met bobo y!]

Astaga!! SMS nyaaaa... Dan aku hanya bilang makasih tanpa embel-embel di terakhir SMS ku pada waktu itu. Hatiku sangaaaaatt kacau.. *tepok jidat lagi*

Tapiii... Tadi dia bilang bahwa yang angkat telfon dariku itu pacarnya.. Hmmm, yah pupuslah harapanku..


Jogja, 19 Agustus 2004
Kantor
Sampai pukul 12.00 siang aku tunggu si Gilang belom juga datang untuk mengambil kartu ATM nya. Waktunya istirahat aku keluar pergi makan bersama mbak Siska salah satu senior juga di kantorku, orang-orang bilang kami anak kembar karena mirip. Kerjaan aku pasrahkan ke mbak Retno, yang saat itu masih melayani customer. Dia menyuruhku istirahat duluan, baru setelah aku kembali gantian dia yang istirahat nanti 1 jam kemudian. 

Intro soundtrack filem Eiffel I'm in Love milik Melly Goeslaw featuring Jimmo, Pujaanku, mengalun dari speaker HP ku. Dan kulihat nama Gilang Sutomo muncul di layar HP gendutku. 
"Hallo, Gilang.."
"Rana, udah aku ambil nih barusan ATM nya kata temenmu kamu lagi istirahat ya?" Tutur Gilang dari seberang sana.
"Oooh iya, gak papa Gilang. Hati-hati, jangan ilang lagi yaa.." Pesanku sok bijak. 
"Hehe iya.. Makasih ya! Udah dulu ya, kamu makan dulu biar ndut, hehe.. Aku balik dulu, nanti SMS an lagi ya.." Katanya sambil ketawa renyah. Kriukk!
"Hahaha aseeemm! Ok, hati-hati dijalan yaa.. Daaah!" Kataku setulus hatiku... 

Ternyata beberapa menit setelah kutinggal makan siang, Gilang datang. Akhirnya mbak Retno yang menguruskan ATM Gilang. 'Yah, gak ketemu deeehh..!' *nyesel*


Kamar Kos
Seperti malam-malam kemarin, sejak aku ketemu lagi dengan Gilang, selalu hanya sosoknya yang menari-nari di kepalaku. 
Nah! Tapi... Kenapa kata-katanya begitu yaaa? Gregetan iiihh rasanya.. 
'Apa sih maksudnya coba? Awas Rana, ini godaan!' Aku berkata pada diriku sendiri. 
'Kamu kan udah ada Adi, Gilang juga udah punya cewek. Apalagi? Sudah, hubungan kalian itu sudah selesai!' 
Tidak! Di lubuk hatiku yang paling dalam mengatakan sebaliknya. Bagiku hubungan kami masih menggantung tidak ada alasan yang jelas ketika itu. Aku yakin masih ada aku dihatinya. Akupun gak bisa bohong pada diriku sendiri bahwa sampai detik ini aku masih mencintainya. Dan sejujurnya, aku masih mengharapkan dia kembali.. 

***

Belakangan aku tau dari Harris, bahwa ternyata orang yang hampir ditonjok itu adalah bapaknya sendiri. Seperti yang aku tau Gilang adalah anak dari keluarga brokenhome. Dia begitu marah ketika mengetahui bahwa bapaknya memutuskan akan bercerai untuk yang kedua kalinya dan akan menikah lagi dengan perempuan lain. Gilang tidak bisa menerima keputusan bapaknya itu. Banyak alasannya. Makanya dia kacau sekali. Akupun menyesal kenapa baru sekarang mengetahui semuanya.. Seandainya saja pada waktu itu dia mengatakan yang sejujurnya, mungkin aku bisa lebih mengerti perasaannya. 

Ingin rasanya aku teriak sekencang-kencangnya, sambil berlari mencari Gilang kemudian memeluknya seeee erat-eratnya... Dan meminta maaf atas sikapku yang kekanak-kanakan saat itu, yang tidak mau mengerti betapa sulitnya ada di posisi dia dan justru malah menambah berat masalahnya.. Segala kemungkinan berkecamuk diotakku. 
Lagi-lagi air mataku pun membasahi bantal tempatku bersandar pada malam hari yang gerimis itu. 

(Bersambung ke Bagian 3)



No comments:

Post a Comment